Sukabumi, Jawa Barat muhsin@administrasipublik.com muhsin.alhasan

cinta indonesia, blog politik, share dan diskusi politik negeri, perkembangan politik, kebijakan politik, kebijakan ekonomi mikro dan makro, kebijakan pendidikan, peraturan terbaru, harga sembako, harga bbm, partai politik, pemilu tahun 2024, komisi pemilihan umum, bawaslu, disentralisasi, geopolitik

Saturday, October 18, 2014

Birokrasi dan Korupsi

 A. Pendahuluan
Salah satu faktor penyebab timbulnya penyakit birokrasi yang paling dominan adalah disebabkan rendahnya moralitas aparatur atau lebih ditentukan oleh rendahnya akhlak aparatur. Seperti misalnya 'korupsi'.
Birokrasi berpeluang Korupsi

Moralitas merupakan suatu dorongan dari untuk melakukan suatu sistem nilai dan etika, sehingga semakin tinggi kadar moralitas seseorang semakin kuat pula dorongan melaksanakan nilai-nilai etika dalam kehidupan sehari-harinya. Demikian pula sebaliknya kadar moralitas yang rendah, maka dorongan penerapan nilai nilai-nilai etika semakin rendah pula. 

Menurut Jeremy Pope (2003) Penyakit birokrasi tidak terlepas dari dua hal, pertama adalah rendahnya nilai-nilai sosial yang melemah, kelemahan kepentingan umum dan tanggungjawab sosial dikesampingkan dengan mengejar status yang diukur dengan kepemilikan harta benda mendapat tempat utama dalam etika pribadi sebagian besar orang.  Dan kedua, tidak adanya transpransi dan tanggung gugat dalam sistem integritas publik.

Penyakit birokrasi yang paling umum, dan seolah membudaya adalah penyakit korupsi. Pengertian korupsi itu sendiri bervariasi, mengutip pendapat Jeremy Pope korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan, kepercayaan, untuk keuntungan pribadi.

B. Bentuk korupsi secara umum
Dalam praktik pelayanan publik ditemukan beberapa bentuk korupsi yang paling umum, diantaranya:
  • Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan;
  • Menggelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu, dan mencuri;
  • Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana;
  • Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya;
  • Menipu;
  • Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberi kesaksian palsu, menahan tidak secara sah;
  • Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu;
  • Penyuapan, penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi;
  • Menjegal pemilihan umum, memalsu kartu suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul;
  • Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi, membuat laporan palsu.
Sebenarnya masih banyak lagi bentuk-bentuk korupsi yang umum selain yang disebutkan di atas. Seperti halnya manipulasi peraturan,menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan. Oleh sebab itulah, tatkala tiba-tiba ditangkap oleh KPK, banyak diantara pejabat Negeri ini seringkali tidak mengira apa yang diperbuat olehnya adalah tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan, atau barangkali hanya coba-coba karena orang lain juga berbuat seperti itu. Memang jika kita mengacu kepada UU pemberantasan tindak korupsi, maka bentuk-bentuk korupsi di atas tidaklah disebutkan secara spesifik. Karena aturan yang ada masih berputar dalam ranah nilai, seperti korupsi dalam bentuk uang, pengadaan barang dan jasa, dan sebagainya. 

C. Strategi Memberantas Korupsi
Dalam upaya memberantas korupsi, memang banyak hal yang akan dilakukan. Mulai dari pengawasan secara ketat terhadap peluang terjadinya korupsi, hingga pembangunan karakter pegawai yang memang seharusnya diterapkan sejak usia dini. Jeremy berpendapat bahwa memberantas korupsi tidak boleh mengabaikan upaya pemberdayaan masyarakat sipil agar dapat berpartisipasi dalam memerangi korupsi. Nah, pemberdayaan inilah yang sangat penting. Pemberdayaan yang dimaksud bisa melalui pendidikan karakter, moral, dan etika. Dan yang lebih penting adalah semangat untuk membangun bangsa.(Sumber buku Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik oleh Drs. H. Surjadi,M.Si

D. Gratifikasi bagian dari korupsi
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pengecualian:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan yang Mengatur Gratifikasi
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,


Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK

Penjelasan Aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001:
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar: 
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Sanksi

Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. (sumber KPK)

Artikel lain yang mungkin anda sukai membahas tentang etika birokrasi dalam pelayanan publik. 

    Location: Sukabumi, Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia

    0 comments:

    Post a Comment

    Popular Posts