Sukabumi, Jawa Barat muhsin@administrasipublik.com muhsin.alhasan

cinta indonesia, blog politik, share dan diskusi politik negeri, perkembangan politik, kebijakan politik, kebijakan ekonomi mikro dan makro, kebijakan pendidikan, peraturan terbaru, harga sembako, harga bbm, partai politik, pemilu tahun 2024, komisi pemilihan umum, bawaslu, disentralisasi, geopolitik

Thursday, October 30, 2014

Sistem Informasi Keuangan Daerah yang baik

Sistem keuangan daerah digunakan untuk mengolah keuangan daerah, mulai dari perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan operasi keuangan daerah, yang disebut RKA SKPD (Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah).

sistem informasi keuangan daerah sistematisSistem ini dikelola oleh Badan Keuangan Daerah dengan fasilitas Modul-modul yang memang perlu sekali dikembangkan. Modul-modul tersebut diantaranya adalah:

Input
  1. RKA SKPD 1, Rincian pendapatan dan penerimaan dalam tahun anggaran yang direncanakan; 
  2. RKA SKPD 2.2.1, Rincian belanja langsung dari setiap kegiatan yang diprogramkan; 
  3. RKA SKPD 2.1,Rincian belanja tidak langsung satuan kerja perangkat daerah;
  4. RKA SKPD 3.1,Rincian penerimaan pembiayaan Daerah;
  5. RKA SKPD 3.2,Rincian pengeluaran pembiayaan Daerah.
 Output :
  1. Formulir RKA SKPD 1, Rincian pendapatan dan penerimaan dalam tahun anggaran yang direncanakan; 
  2. Formulir RKA SKPD 2.2.1, Rincian belanja langsung dari setiap kegiatan yang diprogramkan; 
  3. Formulir RKA SKPD 2.1,Rincian belanja tidak langsung satuan kerja perangkat daerah;
  4. Formulir RKA SKPD 3.1,Rincian penerimaan pembiayaan Daerah;
  5. Formulir RKA SKPD 3.2,Rincian pengeluaran pembiayaan Daerah.
Pengelolaan keuangan daerah harus mempertimbangkan kebijakan yang diberlakukan. Tujuannya untuk efektifitas dan efisiensi anggaran. Dan untuk efektifitasnya sudah tentu mempertimbangkan skala prioritas objek kebijakan. Seperti pembangunan waduk pengairan, Rumah tidak layak huni, atau biaya beban pendidikan. Dimana beberapa faktor haruslah diperhitungkan outputnya, resiko beban, dan peluang keberhasilannya. Tentunya untuk menerapkan itu semua secara efektif dan efisien diperlukan tenaga kerja yang banyak, dan waktu yang lama. Namun dengan kemajuan teknologi saat ini, kesulitan informasi mengenai data-data keuangan daerah, dapat dengan mudah di akses. Tidak hanya kalangan birokrasi, akan tetapi masyarakat umum. 

Modul-modul yang tertulis di atas, merupakan rangkaian input dan output untuk sistem yang terbaru. Namun kualitas suguhan informasi data yang diperoleh, semuanya kembali kepada sumber daya manusia yang merencanakannya.

Untuk formulir data yang saya maksudkan di atas, anda dapat download di website resmi kemendagri.


Mungkin anda tertarik dengan artikel lain seputar sistem informasi:
Teori sistem informasi menuju reformasi administrasi
Reformasi teknologi dalam pelayanan publik

    Saturday, October 18, 2014

    etika birokrasi dalam pelayanan publik

    A. Pendahuluan

    Etika birokrasi dalam pelayanan publik. Sesuai judulnya, sangat wajar jika pembahasan kita kali ini lebih fokus dalam topik etika-nya. Apa itu etika? sederhananya etika adalah sikap atau perilaku yang secara sadar dari hati sanubari untuk taat dan patuh terhadap aturan dan kaidah-kaidah, norma-norma yang berlaku, dan di akui secara sadar bahwa aturan, kaidah, dan norma tersebut adalah baik. Jika birokrasi membiasakan diri untuk disiplin waktu, menjaga kebersihan kantor, apakah itu termasuk kategori birokrasi ber-etika? jawabnya adalah : tentu saja hal itu adalah bagian dari etika. Namun yang menjadi kajian kita kali ini adalah bagaimana etika birokrasi dalam proses pelayanan publik.Karena etika adalah perilaku, maka perilaku itu adakalanya bermanfaat bagi perorangan atau pribadi, seperti disiplin waktu, dan kebersihan kantor. Sementara etika yang bermanfaat bagi perorangan atau pribadi dan orang lain merupakan hal yang paling utama. Menjaga diri untuk tidak korupsi, mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, hingga mengingatkan sesama birokrasi untuk berbuat yang terbaik demi kepentingan yang lebih besar. Itulah contoh etika yang sebenarnya.

    tingkatan yang disebut birokrasi
    Lalu apa yang di maksud dengan birokrasi? Birokrasi pada dasarnya merujuk kepada struktur kepegawaian dalam pemerintahan yang di dalamnya ada jenjang, pangkat, kepemimpinan, dengan ciri khasnya seperti gambar piramid. Biasanya diistilahkan dengan Top, midle, dan bottom.Untuk lebih jelasnya, anda dapat mengunjungi halaman lain dari blog yang sederhana ini.

    Di Indonesia, kondisi birokrasi saat ini masih dalam tahap reformasi yang di kenal sebagai misi reformasi birokrasi di Indonesia. Sementara, etika birokrasi menjadi salah satu yang harus diterapkan demi  mewujudkan reformasi birokrasi di Indonesia saat ini hingga nanti tentunya.


    B. Pengertian Etika Birokrasi

    Peter Madsen dan Jay M. Shafritz, seperti dikutip oleh M. Mas'ud Said (1996:82) mengistilahkan etika birokrasi sebagai perilaku pemerintah dalam semua level untuk menghindari penyalahgunaan pekerjaan secara tidak sah, aktivitas mencari keuntungan pribadi. Dengan kata lain, ia adalah antitesa dari penyalahgunaan umum dan korupsi.

    Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ryas Rasyid (1997:86) bahwa etika pada dasarnya berkenaan dengan upaya menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam sebuah kehidupan kolektif yang profesional. Ini yang disebut etika praktis.

    Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa setiap kelompok profesi memiliki sistem nilai yang dipergunakan sebagai acuan dalam bertindak. 

    Etika birokrasi tidak saja merupakan kebalikan dari praktik-praktik penyalahgunaan, penyimpangan, korupsi, moralitas rendah, dan sebagainya, akan tetapi etika birokrasi mencakup kesepakatan-kesepakatan antara kepentingan Negara, masyarakat dan moral individu secara jujur, obyektif, selaras, dan terpadu tanpa ada pemaksaan atas terwujudnya suatu kesepakatan tersebut. 

    Etika menekankan pada perlunya sistem nilai dipakai sebagai acuan bagi setiap anggota komunitas tertentu. Di dalam birokrasi pemerintah di tuntut para aparaturnya menghayati dan mencerminkan seperangkat nilai-nilai dalam sikap perilakunya sehari-hari, senantiasa berusaha mengembangkan diri sebagai panutan/teladan dengan memiliki  moralitas yang tinggi, menghindarkan diri dari perbuatan tercela. 

    Etika birokrasi itu sendiri tidak-lah berdiri sendiri. Penegakannya terjalin erat dengan prinsip Negara hukum. Itulah sebabnya sebuah pemerintahan yang bersih, segala tingkah laku dan kebijakannnya berangkat dari komitmen moral yang kuat, hanya bisa diharapkan dalam sebuah Negara hukum (Ryaas Rasyid, 2000:91)

    Norma etika penyenggara Negara itu sendiri terdiri dari 8 (delapan) norma, yaitu:
    1. jujur
    2. adil
    3. tepat janji
    4. taat aturan
    5. tanggungjawab
    6. kewajaran
    7. kepatutan
    8. kehati-hatian

    C. Kepemimpinan yang Efektif

    Kepemimpinan menjadi faktor yang sangat penting untuk mendorong yang dipimpinnya agar beretika. Selain itu, kepemimpinan yang kinerjanya baik dan efektif dapat dikatakan sebagai salah satu faktor utama keberhasilan pemerintahan. Tentunya efektif harus dibarengi efisiensi juga. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang memiliki integritas tinggi. Yakni memiliki komitmen sebagai pelayan  (servan leaders) yang bertanggungjawab kepada masyarakat (public accountability).

    Untuk proses pelayanan publik yang baik, efektif, efisien, dan terpercaya, maka kepemimpinan dalam struktur birokrasi harus mempunyai visi yang jelas dan berfikir sistematis agar komitmen dan tanggungjawabnya dapat dipercaya. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang pernah dipaparkan kepala Lembaga administrasi Negara Anwar Supryadi, pemimpin masa depan yang diharapkan adalah pemimpin yang memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
    1. Mempunyai visi yang jelas
    2. Dipercaya 
    3. Berpikir sistemik
    4. Komitmen pada tugas dan tanggugjawab
    Dengan demikian, efektivitas kepemimpinan akan lebih terealisasi. Namun dalam kenyataannya saat ini, sangat sulit menemukan jiwa-jiwa kepemimpinan yang efektif dan bermoral menjadi satu. Hal ini disebabkan berbagai kepentingan dan tujuan. Lihat saja anggaran Negara, celah korupsi yang banyak memungkinkan para birokrasi bermental koruptor akan dengan sangat mudah meng-eksploitasi anggaran. Sampai kapanpun, celah korupsi itu akan ada. Dan sebagai solusinya, adalah pembentukan nilai-nilai moral sejak usia dini, agar para usia dini ini kelak menjadi birokrasi yang ber-etika dan berbuat yang efektif.

    Perubahan sikap dan karakter pelaku birokrasi dapat dikembangkan dengan adanya sistem reward yang memadai, adil dan jujur, serta penegakan supremasi hukum yang mampu menindak penyimpangan secara adil, proporsional, dan profesional. Dengan penegakan hukum, diharapkan juga pelaku birokrasi akan takut berbuat salah dan malu untuk tidak beretika.

    Birokrasi dan Korupsi

     A. Pendahuluan
    Salah satu faktor penyebab timbulnya penyakit birokrasi yang paling dominan adalah disebabkan rendahnya moralitas aparatur atau lebih ditentukan oleh rendahnya akhlak aparatur. Seperti misalnya 'korupsi'.
    Birokrasi berpeluang Korupsi

    Moralitas merupakan suatu dorongan dari untuk melakukan suatu sistem nilai dan etika, sehingga semakin tinggi kadar moralitas seseorang semakin kuat pula dorongan melaksanakan nilai-nilai etika dalam kehidupan sehari-harinya. Demikian pula sebaliknya kadar moralitas yang rendah, maka dorongan penerapan nilai nilai-nilai etika semakin rendah pula. 

    Menurut Jeremy Pope (2003) Penyakit birokrasi tidak terlepas dari dua hal, pertama adalah rendahnya nilai-nilai sosial yang melemah, kelemahan kepentingan umum dan tanggungjawab sosial dikesampingkan dengan mengejar status yang diukur dengan kepemilikan harta benda mendapat tempat utama dalam etika pribadi sebagian besar orang.  Dan kedua, tidak adanya transpransi dan tanggung gugat dalam sistem integritas publik.

    Penyakit birokrasi yang paling umum, dan seolah membudaya adalah penyakit korupsi. Pengertian korupsi itu sendiri bervariasi, mengutip pendapat Jeremy Pope korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan, kepercayaan, untuk keuntungan pribadi.

    B. Bentuk korupsi secara umum
    Dalam praktik pelayanan publik ditemukan beberapa bentuk korupsi yang paling umum, diantaranya:
    • Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan;
    • Menggelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu, dan mencuri;
    • Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana;
    • Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya;
    • Menipu;
    • Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberi kesaksian palsu, menahan tidak secara sah;
    • Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu;
    • Penyuapan, penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi;
    • Menjegal pemilihan umum, memalsu kartu suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul;
    • Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi, membuat laporan palsu.
    Sebenarnya masih banyak lagi bentuk-bentuk korupsi yang umum selain yang disebutkan di atas. Seperti halnya manipulasi peraturan,menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan. Oleh sebab itulah, tatkala tiba-tiba ditangkap oleh KPK, banyak diantara pejabat Negeri ini seringkali tidak mengira apa yang diperbuat olehnya adalah tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan, atau barangkali hanya coba-coba karena orang lain juga berbuat seperti itu. Memang jika kita mengacu kepada UU pemberantasan tindak korupsi, maka bentuk-bentuk korupsi di atas tidaklah disebutkan secara spesifik. Karena aturan yang ada masih berputar dalam ranah nilai, seperti korupsi dalam bentuk uang, pengadaan barang dan jasa, dan sebagainya. 

    C. Strategi Memberantas Korupsi
    Dalam upaya memberantas korupsi, memang banyak hal yang akan dilakukan. Mulai dari pengawasan secara ketat terhadap peluang terjadinya korupsi, hingga pembangunan karakter pegawai yang memang seharusnya diterapkan sejak usia dini. Jeremy berpendapat bahwa memberantas korupsi tidak boleh mengabaikan upaya pemberdayaan masyarakat sipil agar dapat berpartisipasi dalam memerangi korupsi. Nah, pemberdayaan inilah yang sangat penting. Pemberdayaan yang dimaksud bisa melalui pendidikan karakter, moral, dan etika. Dan yang lebih penting adalah semangat untuk membangun bangsa.(Sumber buku Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik oleh Drs. H. Surjadi,M.Si

    D. Gratifikasi bagian dari korupsi
    Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
    Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

    Pengecualian:
    Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Peraturan yang Mengatur Gratifikasi
    Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
    Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,


    Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK

    Penjelasan Aturan Hukum
    Pasal 12 UU No. 20/2001:
    Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar: 
    Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
    Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

    Sanksi

    Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
    Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. (sumber KPK)

    Artikel lain yang mungkin anda sukai membahas tentang etika birokrasi dalam pelayanan publik. 

      Saturday, October 4, 2014

      model-model analisis kebijakan publik

      Hallo blogger yang baik.. Assalamu 'alaikum,, salam sejahtera buat kalian..

      A.Pendahuluan

      Beberapa artikel yang topiknya mengenai kebijakan publik telah saya ulas sebelumnya. Mulai dari teori dasar kebijakan publik, hingga masalah-masalah publik yang membedakannya dengan masalah private. Kebijakan publik sebenarnya mayoritas mengandalkan teori, namun dalam beberapa metode membutuhkan analisis dengan model-model tertentu.  

      Perlu kita ketahui, bahwa teori dan model itu beda. Ada teori, ada model. Dengan kata lain, ada teori kebijakan publik, ada model kebijakan publik. Namun model-model ini lebih sering digunakan dalam analisis saja. Bukan untuk menjelaskan teori dasarnya. 

      B. Kriteria Model kebijakan 

      Menurut Brodbeck (1959:374) Model itu sendiri sebenarnya merupakan representasi teori yang disederhanakan tentang dunia nyata. Ia lebih merujuk pada sebuah konsep atau bagan untuk menyederhanakan realitas. Berbeda dengan teori yang kesahihannya telah dibuktikan melalui pengujian empiris, model didasarkan pada isomorpishm, yaitu kesamaan-kesamaan antara kenyataan satu dengan kenyataan lainnya. Model akan menjadi teori jika benar-benar isomorfis dan ditemukan bukti-bukti empirisnya.

      Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar sekali manfaatnya. Hal ini beralasan kepada 2 (dua) hal, yakni:
      1. Kebijakan publik merupakan proses yang kompleks. Dengan adanya "Model" maka realitas akan sangat membantu realitas yang komplek tersebut. Denga kata lain, bahwa "Model" dapat menyederhanakan teori-teori kebijakan publik, seperti model implementasi, model analisis, model evaluasi, dan sebagainya. 
      2. Sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu, maka peran model akan sangat berguna untuk mengkaji teori-teori kebijakan publik dan realitasnya. 
      Namun demikian, meskipun model sangat membantu bagi kita untuk mengkaji teori-teori dan realitas kebiijakan publik, akan tetapi kita membutuhkan kritera-kriteria model seperti apakah yang membantu atau tidak membantu sama sekali. Untuk itu, Thomas R.Dye menyarankan beberapa kriteria model berikut ini yang di klaim sebagai model yang akan membantu kita mengkaji teori-teori realitas kebijakan publik, diantaranya adalah:

      1. Model tidak boleh terlalu sederhana, dan juga tidak boleh terlalu kompleks. Model yang terlalu sederhana akan mendorong terjadinya pengertian yang salah, sedang model yang terlalu  kompleks justru akan membingungkan. 
      2. Model harus mengidentifikasikan aspek-aspek yang paling penting bagi kebijakan publik. Seperti fenomena politik yang paling menonjol saat itu, atau suatu fenomena sosial yang ramai diperbincangkan hingga menjadi masalah. 
      3. Model Kongruen (sama dan sebangun). Artinya model harus menjembatani atau menghubungkan realitas suatu fenomena dengan situasi yang lebih spesifik. 
      4. Model harus memiliki konsep yang dapat dimengerti oleh bersama. 
      5. Model harus dapat diuji, diukur, dan diamati, serta dapat diverifikasi. 
      6. Model harus memberikan penjelasan mengenai kebijakan publik. 
      Thomas R.Dye sumber : floridamemory.com
      Enam model inilah yang harus ada dalam analisis kebijakan publik sebagai syarat utama dalam kajian kebijakan publik. Dan pendapat dari Thomas R. Dye inilah yang paling sering dijadikan acuan atau rujukan setiap analis kebijakan publik. 

      Berbeda dengan Thomas R. Dye justru Lester dan Stewart lebih menekankan bahwa model kebijakan publik yang paling baik adalah model elitis dan model pluralis. Penjelasannya sebagai berikut:

      1. Model elitis

      Model ini pernah diterapkan di Indonesia sejak zaman orde baru. Bahkan di korea utara, Kuba, pernah juga menerapkannya. Teori ini cenderung seperti konsep kebijakan publik pada zaman kuno. Teori elit mengatakan bahwa semua lembaga politik dan lembaga masyarakat di dominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka. Sepertinya di Indonesia, hal seperti ini bukan hal yang baru, dan akan tetap langgeng. Hal ini didasari atas bahwa kepentingan elit politik demi gengsi partai politik dan kedudukan bisa saja mengubah konteks kebijakan dalam bentuk perubahan Undang-Undang. Karena setiap elemen parlemen dihuni oleh para anggota partai politik, dan akan lebih cenderung memikirkan penguatan kepentingan-kepentingan mereka.

      2. Model Pluralis

      Model ini kebalikan dari model elitis yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elit politik. Model pluralis lebih percaya pada subsistem-subsistem yang berada dalam sistem demokrasi. Di Negara berkembang, model elitis akan cukup memadai menjelaskan proses politik yang berlangsung, namun akan kesulitan dalam menjelaskan proses politik di Negara yang mendasarkan diri pada sistem demokrasi, seperti Amerika Serikat. 

      Robert Dahl dan David Truman merupakan 2(dua) ilmuwan yang merangkum tentang uraian model pluralis ini. Mereka berpandangan bahwa model pluralis tidak membeda-bedakan antara "elit" dan "masyarakat". Sekalipun pada pendapat yang lain Dye dan Zeigler berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan preferensi nilai-nilai dari para elit yang berkuasa.

      Perbedaan antara model elite dan pluralis ini hanya berkisar pada siapa yang kuasa, yang punya otoritas, dan kewenangan. Sehingga, dengan adanya hipotesis seperti ini, ada dugaan bahwa hal inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi apatis terhadap anggota dewan, anggota yang ada di parlemen.

      Maka tidaklah salah teori yang dikemukakan oleh Thomas R.Dye, bahwa Rakyat cenderung berprilaku "apatis" terhadap pemerintah selaku aktor pembuat kebijakan. Karena Rakyat tidak memperoleh informasi yang luas mengenai kebijakan-kebijakan tersebut. Termasuk rancangan undang-undangnya, atau peraturan apa dan bagaimana akan dibuat. Rakyat cenderung tidak mau tahu. Dan itu disebabkan oleh ketidakterbukaan sistem informasi kebijakan yang akan disusun oleh pemerintah. 

      C. Pendekatan dalam analisis kebijakan Publik

      Para ilmuwan telah menemukan teori-teori dan model-model untuk membantu mereka dalam memahami dan menjelaskan proses pembuatan kebijakan publik. Mereka juga mengembangkan teori-teori pendekatan yang sifatnya teori untuk membantu mereka dalam mempelajari perilaku dari seluruh sistem politik. Sekalipun teori pendekatan ini belum dikembangkan dalam proses analisis kebijakan, namun pendekatan-pendekatan ini dapat diubah dengan mudah untuk tujuan tersebut. Diantara pendekatan-pendekatan tersebut adalah:
      1. Pendekatan kelompok, yakni secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat. Mereka mempertahankan, membela, dan bersaing demi tujuan mereka. Biasanya pendekatan kelompok jika gagal mencapai tujuannya, maka mereka akan menggunakan politik dan membentuk kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknya. Contohnya seperti Partai politik di Indonesia, kubu oposisi dan kubu yang berkoalisi dengan pemerintah adalah cerminan pendekatan kelompok. 
      2. Pendekatan Proses Fungsional, pendekatan ini lebih bertumpu kepada intelektualitas, rekomendasi, aplikasi, dan terminasi. Artinya, setiap kebijakan tersebut harus dipertanyakan lebih dahulu, apakah informasi kebijakan tersebut hanya mengandalkan intelektualitas saja? rekomendasinya bagaimana? aplikasinya bagaimana? 
      3. Pendekatan kelembagaan, dengan melakukan analisis kebijakan melalui pendekatan pada lembaga-lembaga institusi. Seperti presiden, kementrian, kepala daerah, dan sebagainya. Karena lembaga-lembaga ini memiliki karakterisktik yang berbeda terhadap kebijakan.
      4. Pendekatan peran serta warganegara. Pendekatan ini memang teori klasik, namun sangat demokratis. Selain itu, mengajarkan masyarakat untuk lebih memahami ranah politik, serta pendewasaan untuk menilai kebijakan-kebijakan yang ada. 
      5. Pendekatan Psikologis. Menurut Amir santoso, pendekatan ini menjelaskan hubungan antar-pribadi antara perumus dan pelaksana kebijakan. 
      Banyaknya teori pendekatan di atas, menunjukkan bahwa kebijakan publik memiliki teori yang statis dengan penerapan yang statis juga. lalu bagaimana caranya agar kebijakan yang diterbitkan kemudian hari berlaku secara efektif? simak artikel sederhana lainnya mengenai Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Implementasi Kebijakan Publik di tulisan saya selanjutnya. 

        Friday, October 3, 2014

        evolusi dalam studi kebijakan publik

        Hello sobat blogger.. semoga tetap sehat, sukses,,

        Sudah lama rasanya tidak update artikel di blog yang sederhana, dan pada kesempatan kali ini, saya ada sedikit semangat lagi untuk menulis. Kebetulan ada buku, dan sesuai dengan niat yang ada di hati,,

        Evolusi Ilmu kebijakan Publik
        Sebelumnya saya telah menulis sedikit mengenai sejarah kebijakan Publik. Dalam kesempatan ini sebagai lanjutan dari artikel tersebut, saya akan mengemukakan tumbuh dan berkembangnya kebijakan publik tersebut mengikuti kondisi kehidupan.
        Para ilmuwan politik, dalam pengajaran dan penelitian mereka biasanya memiliki perhatian yang besar terhadap proses-proses politik, seperti proses legislatif atau pemilihan, atau elemen-elemen sistem politik. 

        Bila kebijakan publik dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, maka minat untuk mengkaji kebijakan publik telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak Plato dan Aristoteles. Namun demikian, pada waktu studi mengenai kebijakan publik masih berpijak pada lembaga-lembaga Negara. Ilmu politik tradisional lebih menekankan pada studi-studi kelembagaan dan pembenaran filosofis terhadap tindakan-tindakan pemerintah, namun kurang menaruh perhatian terhadap hubungan antarlembaga tersebut dengan kebijakan-kebijakan publik.  Setelah itu, perhatian para ilmuwan politik mulai beranjak pada masalah proses dan pola tingkah laku yang berkaitan dengan pemerintahan dan aktor-aktor politik. Dengan adanya perubahan orientasi ini maka mulai ada anggapan bahwa ilmu politik mulai memberi perhatian kepada masalah-masalah pembuatan keputusan secara kolektif atau perumusan kebijakan. 

        Dewasa ini, para ilmuwan politik mempunyai perhatian yang meningkat terhadap studi kebijakan publik-deskriptif, analisis dan penjelasan terhadap sebab-sebab dan akibat-akibat dari kegiatan pemerintah. Sebagaimana Thomas Dye mengatakannya dengan tepat, hal ini mencakup deskripsi tentang point-poin berikut ini:
        1. substansi kebijakan non-publik;
        2. penilaian terhadap dampak dari kekuatan-kekuatan lingkungan pada substansi kebijakan; 
        3. suatu analisis tehadap efek dari macam-macam aturan kelembagaan; 
        4. suatu penyelidikan terhadap konsekuensi-konsekuensi dari berbagai kebijakan publik bagi sistem politik; dan 
        5. suatu evaluasi terhadap dampak yang diinginkan dan dampak yang tidak diinginkan. 

        Dengan demikian, orang diarahkan untuk mencari jawaban-jawaban terhadap pernyataan-pernyataan seperti: apakah substansi sebenarnya dari kebijakan pemberantasan korupsi? Apakah dampak kebijakan debirokratisasi dan deregulasi terhadap ekspor non-migas Indonesia? Bagaimana kebijakan DPR membantu membentuk kebijakan pertanian? Apakah pemilihan Umum mempengaruhi kebijakan publik? Siapa yang beruntung dan siapa yang rugi dengan adanya kebijakan pajak? 

        Pertanyaan-pertanyaan seperti ini pada dasarnya ingin mencari jawaban mengapa para ilmuwan politik mempunyai perhatian besar terhadap studi kebijakan publik. 

        Minat para ilmuwan politik untuk mengkaji kebijakan publik didasari alasan, seperti dapat di lihat dalam uraian Lester dan stewart maupun Anderson. Diantara dasar masalah dan alasan mereka adalah:

        1. Mengapa ilmuwan tertarik mempelajari kebijakan publik? 

        Maka alasannya adalah karena kebijakan publik sifatnya ilmiah. Kebijakan publik dapat dipelajari untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang asal muasalnya, proses perkembangannya, dan konsekuensinya bagi masyarakat. Pada gilirannya, hal ini akan menambah pengertian tentang sistem politik dan masyarakat secara umum. Dalam konteks seperti ini, maka kebijakan dipandang sebagai variabel terikat (dependent Variabel) maupun sebagai Variabel bebas (Independen Variabel). Jika kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian kita akan tertuju kepada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu menentukan substansi kebijakan. Misalnya, bagaimana kebijakan dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan antara kelompok-kelompok penekan dan lembaga-lembaga pemerintah? atau bagaimana kebijakan memengaruhi dukungan bagi sistem politik? atau pengaruh apa yang ditimbulkan oleh kebijakan  pada keadaan sosial Masyarakat?

        2. Alasan yang kedua untuk mengkaji kebijakan publik adalah karena alasan profesional.

        Dalam hal ini, Don K.Price membuat pembedaan antara "tingkatan ilmiah" (the scientific estate) yang hanya menentukan pengetahuan dan "tingkatan profesional" (the profesional estate) yang berusaha menerapkan pengetahuan ilmiah kepada penyelesaian masalah-masalah sosial praktis. Disini kita tidak akan memberikan perhatian kepada masalah " apakah ilmuwan politik harus membantu dalam menentukan tujuan-tujuan kebijakan publik atau tidak? " Namun dalam bagian ini para ilmuwan politik hingga sampai saat ini belum sepakat. Karena beberapa ilmuwan politik setuju bahwa seorang ilmuwan dapat membantu menentukan tujuan-tujuan kebijakan publik, dan ilmuwan yang lain tidak setuju. Mereka yang tidak setuju beralasan bahwa, sebagai seorang ilmuwan mereka tidak mempunyai keahlian khusus untuk mengerjakan hal tersebut. 

        James Anderson adalah salah satu ilmuwan yang mendukung pendapat pertama. Menurut Anderson, jika kita mengetahui sesuatu fakta-fakta yang membantu dalam membentuk kebijakan-kebijakan publik atau konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan yang mungkin timbul, sementara kita dapat memberikan manfaat mengenai bagaimana individu-individu, kelompok-kelompok atau pemerintah dapat bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, maka kita layak memberikan hal tersebut dan tidak layak berdiam diri. Dengan demikian, menurut Anderson, adalah sah bagi seorang ilmuwan, karena pengetahuan yang dimilikinya, memberikan saran-saran kepada pemerintah maupun pemegang otoritas pembuat kebijakan agar kebijakan yang dihasilkan mampu memecahkan persoalan dengan baik. 

        3. Yang ketiga adalah alasan Politik
        Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa beberapa ilmuwan politik tidak sependapat. Dengan kata lain, ada yang berpendapat ilmuwan politik harus turut serta membantu menentukan kebijakan publik. Sementara ilmuwan politik yang lain menolaknya dengan tegas. Penolakan ini bukannya tidak beralasan. Mereka beralasan, cukuplah para ilmuwan hanya menganalisis, memberitahukan, dan membuat usulan saja. Dan tidak harus "ikut-ikutan" berpolitik. 

        Hingga saat ini, tulisan-tulisan, makalah, hingga journal tentang kebijakan publik telah banyak beredar di berbagai pelosok dunia. Dan alasan yang mereka ajukan pun berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa evolusi kebijakan publik memang telah berkembang dengan pesat. Karena dengan berbagai alasan tersebut, studi tentang kebijakan publik seolah menjamur dengan berbagai pro-kontra sesuai perkembangan zaman. 

        Dulu, seorang ilmuwan yang mempelajari dan menulis kebijakan-kebijakan pemerintah selalu di awasi. Bahkan jika diketahui analisisnya tidak berpihak kepada penguasa, maka penjara adalah bagiannya, atau mungkin lebih dari itu. Dengan kata lain, analisis lah yang baik-baiknya saja. Jika tidak, penjara bagianmu. 

        Di era reformasi Indonesia saat ini contohnya. Namun anda dapat memberikan masukan bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut apabila dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan sebelum era reformasi. Apakah reformasi yang lebih mendukung studi kebijakan? atau hanya mendukung sekedar tulisan semata. 


        Muhsin Al Hasani,S.Ip
        sumber Buku : Kebijakan Publik, Teori, Proses, dan Studi Kasus
        Oleh :
        Prof. Dr. Budi Winarno,MA,PhD


        Sekian



        Popular Posts