Sukabumi, Jawa Barat muhsin@administrasipublik.com muhsin.alhasan

cinta indonesia, blog politik, share dan diskusi politik negeri, perkembangan politik, kebijakan politik, kebijakan ekonomi mikro dan makro, kebijakan pendidikan, peraturan terbaru, harga sembako, harga bbm, partai politik, pemilu tahun 2024, komisi pemilihan umum, bawaslu, disentralisasi, geopolitik

Saturday, October 4, 2014

model-model analisis kebijakan publik

Hallo blogger yang baik.. Assalamu 'alaikum,, salam sejahtera buat kalian..

A.Pendahuluan

Beberapa artikel yang topiknya mengenai kebijakan publik telah saya ulas sebelumnya. Mulai dari teori dasar kebijakan publik, hingga masalah-masalah publik yang membedakannya dengan masalah private. Kebijakan publik sebenarnya mayoritas mengandalkan teori, namun dalam beberapa metode membutuhkan analisis dengan model-model tertentu.  

Perlu kita ketahui, bahwa teori dan model itu beda. Ada teori, ada model. Dengan kata lain, ada teori kebijakan publik, ada model kebijakan publik. Namun model-model ini lebih sering digunakan dalam analisis saja. Bukan untuk menjelaskan teori dasarnya. 

B. Kriteria Model kebijakan 

Menurut Brodbeck (1959:374) Model itu sendiri sebenarnya merupakan representasi teori yang disederhanakan tentang dunia nyata. Ia lebih merujuk pada sebuah konsep atau bagan untuk menyederhanakan realitas. Berbeda dengan teori yang kesahihannya telah dibuktikan melalui pengujian empiris, model didasarkan pada isomorpishm, yaitu kesamaan-kesamaan antara kenyataan satu dengan kenyataan lainnya. Model akan menjadi teori jika benar-benar isomorfis dan ditemukan bukti-bukti empirisnya.

Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar sekali manfaatnya. Hal ini beralasan kepada 2 (dua) hal, yakni:
  1. Kebijakan publik merupakan proses yang kompleks. Dengan adanya "Model" maka realitas akan sangat membantu realitas yang komplek tersebut. Denga kata lain, bahwa "Model" dapat menyederhanakan teori-teori kebijakan publik, seperti model implementasi, model analisis, model evaluasi, dan sebagainya. 
  2. Sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu, maka peran model akan sangat berguna untuk mengkaji teori-teori kebijakan publik dan realitasnya. 
Namun demikian, meskipun model sangat membantu bagi kita untuk mengkaji teori-teori dan realitas kebiijakan publik, akan tetapi kita membutuhkan kritera-kriteria model seperti apakah yang membantu atau tidak membantu sama sekali. Untuk itu, Thomas R.Dye menyarankan beberapa kriteria model berikut ini yang di klaim sebagai model yang akan membantu kita mengkaji teori-teori realitas kebijakan publik, diantaranya adalah:

  1. Model tidak boleh terlalu sederhana, dan juga tidak boleh terlalu kompleks. Model yang terlalu sederhana akan mendorong terjadinya pengertian yang salah, sedang model yang terlalu  kompleks justru akan membingungkan. 
  2. Model harus mengidentifikasikan aspek-aspek yang paling penting bagi kebijakan publik. Seperti fenomena politik yang paling menonjol saat itu, atau suatu fenomena sosial yang ramai diperbincangkan hingga menjadi masalah. 
  3. Model Kongruen (sama dan sebangun). Artinya model harus menjembatani atau menghubungkan realitas suatu fenomena dengan situasi yang lebih spesifik. 
  4. Model harus memiliki konsep yang dapat dimengerti oleh bersama. 
  5. Model harus dapat diuji, diukur, dan diamati, serta dapat diverifikasi. 
  6. Model harus memberikan penjelasan mengenai kebijakan publik. 
Thomas R.Dye sumber : floridamemory.com
Enam model inilah yang harus ada dalam analisis kebijakan publik sebagai syarat utama dalam kajian kebijakan publik. Dan pendapat dari Thomas R. Dye inilah yang paling sering dijadikan acuan atau rujukan setiap analis kebijakan publik. 

Berbeda dengan Thomas R. Dye justru Lester dan Stewart lebih menekankan bahwa model kebijakan publik yang paling baik adalah model elitis dan model pluralis. Penjelasannya sebagai berikut:

1. Model elitis

Model ini pernah diterapkan di Indonesia sejak zaman orde baru. Bahkan di korea utara, Kuba, pernah juga menerapkannya. Teori ini cenderung seperti konsep kebijakan publik pada zaman kuno. Teori elit mengatakan bahwa semua lembaga politik dan lembaga masyarakat di dominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka. Sepertinya di Indonesia, hal seperti ini bukan hal yang baru, dan akan tetap langgeng. Hal ini didasari atas bahwa kepentingan elit politik demi gengsi partai politik dan kedudukan bisa saja mengubah konteks kebijakan dalam bentuk perubahan Undang-Undang. Karena setiap elemen parlemen dihuni oleh para anggota partai politik, dan akan lebih cenderung memikirkan penguatan kepentingan-kepentingan mereka.

2. Model Pluralis

Model ini kebalikan dari model elitis yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elit politik. Model pluralis lebih percaya pada subsistem-subsistem yang berada dalam sistem demokrasi. Di Negara berkembang, model elitis akan cukup memadai menjelaskan proses politik yang berlangsung, namun akan kesulitan dalam menjelaskan proses politik di Negara yang mendasarkan diri pada sistem demokrasi, seperti Amerika Serikat. 

Robert Dahl dan David Truman merupakan 2(dua) ilmuwan yang merangkum tentang uraian model pluralis ini. Mereka berpandangan bahwa model pluralis tidak membeda-bedakan antara "elit" dan "masyarakat". Sekalipun pada pendapat yang lain Dye dan Zeigler berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan preferensi nilai-nilai dari para elit yang berkuasa.

Perbedaan antara model elite dan pluralis ini hanya berkisar pada siapa yang kuasa, yang punya otoritas, dan kewenangan. Sehingga, dengan adanya hipotesis seperti ini, ada dugaan bahwa hal inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi apatis terhadap anggota dewan, anggota yang ada di parlemen.

Maka tidaklah salah teori yang dikemukakan oleh Thomas R.Dye, bahwa Rakyat cenderung berprilaku "apatis" terhadap pemerintah selaku aktor pembuat kebijakan. Karena Rakyat tidak memperoleh informasi yang luas mengenai kebijakan-kebijakan tersebut. Termasuk rancangan undang-undangnya, atau peraturan apa dan bagaimana akan dibuat. Rakyat cenderung tidak mau tahu. Dan itu disebabkan oleh ketidakterbukaan sistem informasi kebijakan yang akan disusun oleh pemerintah. 

C. Pendekatan dalam analisis kebijakan Publik

Para ilmuwan telah menemukan teori-teori dan model-model untuk membantu mereka dalam memahami dan menjelaskan proses pembuatan kebijakan publik. Mereka juga mengembangkan teori-teori pendekatan yang sifatnya teori untuk membantu mereka dalam mempelajari perilaku dari seluruh sistem politik. Sekalipun teori pendekatan ini belum dikembangkan dalam proses analisis kebijakan, namun pendekatan-pendekatan ini dapat diubah dengan mudah untuk tujuan tersebut. Diantara pendekatan-pendekatan tersebut adalah:
  1. Pendekatan kelompok, yakni secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat. Mereka mempertahankan, membela, dan bersaing demi tujuan mereka. Biasanya pendekatan kelompok jika gagal mencapai tujuannya, maka mereka akan menggunakan politik dan membentuk kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknya. Contohnya seperti Partai politik di Indonesia, kubu oposisi dan kubu yang berkoalisi dengan pemerintah adalah cerminan pendekatan kelompok. 
  2. Pendekatan Proses Fungsional, pendekatan ini lebih bertumpu kepada intelektualitas, rekomendasi, aplikasi, dan terminasi. Artinya, setiap kebijakan tersebut harus dipertanyakan lebih dahulu, apakah informasi kebijakan tersebut hanya mengandalkan intelektualitas saja? rekomendasinya bagaimana? aplikasinya bagaimana? 
  3. Pendekatan kelembagaan, dengan melakukan analisis kebijakan melalui pendekatan pada lembaga-lembaga institusi. Seperti presiden, kementrian, kepala daerah, dan sebagainya. Karena lembaga-lembaga ini memiliki karakterisktik yang berbeda terhadap kebijakan.
  4. Pendekatan peran serta warganegara. Pendekatan ini memang teori klasik, namun sangat demokratis. Selain itu, mengajarkan masyarakat untuk lebih memahami ranah politik, serta pendewasaan untuk menilai kebijakan-kebijakan yang ada. 
  5. Pendekatan Psikologis. Menurut Amir santoso, pendekatan ini menjelaskan hubungan antar-pribadi antara perumus dan pelaksana kebijakan. 
Banyaknya teori pendekatan di atas, menunjukkan bahwa kebijakan publik memiliki teori yang statis dengan penerapan yang statis juga. lalu bagaimana caranya agar kebijakan yang diterbitkan kemudian hari berlaku secara efektif? simak artikel sederhana lainnya mengenai Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Implementasi Kebijakan Publik di tulisan saya selanjutnya. 

    1 comment:

    1. Bagus tulisanx pak..sx mohon izin untuk dishare ke mahasiswa prodi administrasi publik

      ReplyDelete

    Popular Posts