Sukabumi, Jawa Barat muhsin@administrasipublik.com muhsin.alhasan

cinta indonesia, blog politik, share dan diskusi politik negeri, perkembangan politik, kebijakan politik, kebijakan ekonomi mikro dan makro, kebijakan pendidikan, peraturan terbaru, harga sembako, harga bbm, partai politik, pemilu tahun 2024, komisi pemilihan umum, bawaslu, disentralisasi, geopolitik

Showing posts with label kebijakan publik. Show all posts
Showing posts with label kebijakan publik. Show all posts

Friday, October 3, 2014

evolusi dalam studi kebijakan publik

Hello sobat blogger.. semoga tetap sehat, sukses,,

Sudah lama rasanya tidak update artikel di blog yang sederhana, dan pada kesempatan kali ini, saya ada sedikit semangat lagi untuk menulis. Kebetulan ada buku, dan sesuai dengan niat yang ada di hati,,

Evolusi Ilmu kebijakan Publik
Sebelumnya saya telah menulis sedikit mengenai sejarah kebijakan Publik. Dalam kesempatan ini sebagai lanjutan dari artikel tersebut, saya akan mengemukakan tumbuh dan berkembangnya kebijakan publik tersebut mengikuti kondisi kehidupan.
Para ilmuwan politik, dalam pengajaran dan penelitian mereka biasanya memiliki perhatian yang besar terhadap proses-proses politik, seperti proses legislatif atau pemilihan, atau elemen-elemen sistem politik. 

Bila kebijakan publik dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, maka minat untuk mengkaji kebijakan publik telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak Plato dan Aristoteles. Namun demikian, pada waktu studi mengenai kebijakan publik masih berpijak pada lembaga-lembaga Negara. Ilmu politik tradisional lebih menekankan pada studi-studi kelembagaan dan pembenaran filosofis terhadap tindakan-tindakan pemerintah, namun kurang menaruh perhatian terhadap hubungan antarlembaga tersebut dengan kebijakan-kebijakan publik.  Setelah itu, perhatian para ilmuwan politik mulai beranjak pada masalah proses dan pola tingkah laku yang berkaitan dengan pemerintahan dan aktor-aktor politik. Dengan adanya perubahan orientasi ini maka mulai ada anggapan bahwa ilmu politik mulai memberi perhatian kepada masalah-masalah pembuatan keputusan secara kolektif atau perumusan kebijakan. 

Dewasa ini, para ilmuwan politik mempunyai perhatian yang meningkat terhadap studi kebijakan publik-deskriptif, analisis dan penjelasan terhadap sebab-sebab dan akibat-akibat dari kegiatan pemerintah. Sebagaimana Thomas Dye mengatakannya dengan tepat, hal ini mencakup deskripsi tentang point-poin berikut ini:
  1. substansi kebijakan non-publik;
  2. penilaian terhadap dampak dari kekuatan-kekuatan lingkungan pada substansi kebijakan; 
  3. suatu analisis tehadap efek dari macam-macam aturan kelembagaan; 
  4. suatu penyelidikan terhadap konsekuensi-konsekuensi dari berbagai kebijakan publik bagi sistem politik; dan 
  5. suatu evaluasi terhadap dampak yang diinginkan dan dampak yang tidak diinginkan. 

Dengan demikian, orang diarahkan untuk mencari jawaban-jawaban terhadap pernyataan-pernyataan seperti: apakah substansi sebenarnya dari kebijakan pemberantasan korupsi? Apakah dampak kebijakan debirokratisasi dan deregulasi terhadap ekspor non-migas Indonesia? Bagaimana kebijakan DPR membantu membentuk kebijakan pertanian? Apakah pemilihan Umum mempengaruhi kebijakan publik? Siapa yang beruntung dan siapa yang rugi dengan adanya kebijakan pajak? 

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini pada dasarnya ingin mencari jawaban mengapa para ilmuwan politik mempunyai perhatian besar terhadap studi kebijakan publik. 

Minat para ilmuwan politik untuk mengkaji kebijakan publik didasari alasan, seperti dapat di lihat dalam uraian Lester dan stewart maupun Anderson. Diantara dasar masalah dan alasan mereka adalah:

1. Mengapa ilmuwan tertarik mempelajari kebijakan publik? 

Maka alasannya adalah karena kebijakan publik sifatnya ilmiah. Kebijakan publik dapat dipelajari untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang asal muasalnya, proses perkembangannya, dan konsekuensinya bagi masyarakat. Pada gilirannya, hal ini akan menambah pengertian tentang sistem politik dan masyarakat secara umum. Dalam konteks seperti ini, maka kebijakan dipandang sebagai variabel terikat (dependent Variabel) maupun sebagai Variabel bebas (Independen Variabel). Jika kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian kita akan tertuju kepada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu menentukan substansi kebijakan. Misalnya, bagaimana kebijakan dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan antara kelompok-kelompok penekan dan lembaga-lembaga pemerintah? atau bagaimana kebijakan memengaruhi dukungan bagi sistem politik? atau pengaruh apa yang ditimbulkan oleh kebijakan  pada keadaan sosial Masyarakat?

2. Alasan yang kedua untuk mengkaji kebijakan publik adalah karena alasan profesional.

Dalam hal ini, Don K.Price membuat pembedaan antara "tingkatan ilmiah" (the scientific estate) yang hanya menentukan pengetahuan dan "tingkatan profesional" (the profesional estate) yang berusaha menerapkan pengetahuan ilmiah kepada penyelesaian masalah-masalah sosial praktis. Disini kita tidak akan memberikan perhatian kepada masalah " apakah ilmuwan politik harus membantu dalam menentukan tujuan-tujuan kebijakan publik atau tidak? " Namun dalam bagian ini para ilmuwan politik hingga sampai saat ini belum sepakat. Karena beberapa ilmuwan politik setuju bahwa seorang ilmuwan dapat membantu menentukan tujuan-tujuan kebijakan publik, dan ilmuwan yang lain tidak setuju. Mereka yang tidak setuju beralasan bahwa, sebagai seorang ilmuwan mereka tidak mempunyai keahlian khusus untuk mengerjakan hal tersebut. 

James Anderson adalah salah satu ilmuwan yang mendukung pendapat pertama. Menurut Anderson, jika kita mengetahui sesuatu fakta-fakta yang membantu dalam membentuk kebijakan-kebijakan publik atau konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan yang mungkin timbul, sementara kita dapat memberikan manfaat mengenai bagaimana individu-individu, kelompok-kelompok atau pemerintah dapat bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, maka kita layak memberikan hal tersebut dan tidak layak berdiam diri. Dengan demikian, menurut Anderson, adalah sah bagi seorang ilmuwan, karena pengetahuan yang dimilikinya, memberikan saran-saran kepada pemerintah maupun pemegang otoritas pembuat kebijakan agar kebijakan yang dihasilkan mampu memecahkan persoalan dengan baik. 

3. Yang ketiga adalah alasan Politik
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa beberapa ilmuwan politik tidak sependapat. Dengan kata lain, ada yang berpendapat ilmuwan politik harus turut serta membantu menentukan kebijakan publik. Sementara ilmuwan politik yang lain menolaknya dengan tegas. Penolakan ini bukannya tidak beralasan. Mereka beralasan, cukuplah para ilmuwan hanya menganalisis, memberitahukan, dan membuat usulan saja. Dan tidak harus "ikut-ikutan" berpolitik. 

Hingga saat ini, tulisan-tulisan, makalah, hingga journal tentang kebijakan publik telah banyak beredar di berbagai pelosok dunia. Dan alasan yang mereka ajukan pun berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa evolusi kebijakan publik memang telah berkembang dengan pesat. Karena dengan berbagai alasan tersebut, studi tentang kebijakan publik seolah menjamur dengan berbagai pro-kontra sesuai perkembangan zaman. 

Dulu, seorang ilmuwan yang mempelajari dan menulis kebijakan-kebijakan pemerintah selalu di awasi. Bahkan jika diketahui analisisnya tidak berpihak kepada penguasa, maka penjara adalah bagiannya, atau mungkin lebih dari itu. Dengan kata lain, analisis lah yang baik-baiknya saja. Jika tidak, penjara bagianmu. 

Di era reformasi Indonesia saat ini contohnya. Namun anda dapat memberikan masukan bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut apabila dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan sebelum era reformasi. Apakah reformasi yang lebih mendukung studi kebijakan? atau hanya mendukung sekedar tulisan semata. 


Muhsin Al Hasani,S.Ip
sumber Buku : Kebijakan Publik, Teori, Proses, dan Studi Kasus
Oleh :
Prof. Dr. Budi Winarno,MA,PhD


Sekian



Thursday, September 18, 2014

sejarah undang-undang 1945 hingga era reformasi 2014

A. Pendahuluan

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
  1. Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
  2. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
  3. Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
  4. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945

Ada penambahan pasal, dan beberapa poin yang telah dirubah di dalam UUD 1945. semua perubahan tersebut saat ini dikenal dengan istilah amandemen. Perubahan-perubahan tersebut bertujuan agar bisa menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada pada warga Indonesia. Seperti dalam pasal 18 yang menyebutkan aturan-aturan pemerintahan daerah dan sebagainya.

ok sobat..

Terlepas dari semua perubahan itu, kita tentu ingin mengetahui latar belakang UUD 1945. Hal ini penting, sama pentingnya dengan dasar Negara kita yakni Pancasila. Dikatakan sebagai dasar nya Undang-undang disebabkan karena semua Undang-undang, peraturan, ampres, dan sebagainya, semuanya harus kembali kepada konsep UUD 1945.

B. Sejarah konsep  UUD 1945

UUD 1945 di awali dengan lahirnya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Para anggota BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 bersidang dalam dua tahap: pertama, dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 untuk menetapkan dasar negara dan berhasil merumuskan Pancasila yang didasarkan pada pidato anggota Soekarno pada 1 Juni 1945, kedua, dari tanggal 10 sampai dengan 17 Juli 1945 yang berhasil membuat Undang-Undang Dasar (Harun Al Rasid, 2002).

1. Sidang Pertama 29 Mei hingga 1 Juni 1945

Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Supomo, dan Ir. Sukarno. Mereka mengemukakan beberapa konsep dengan berbagai argumen. Dari keseluruhan konsep inilah nantinya yang akan menjadi cikal-bakal konsep dasar teks Pancasila yang kita kenal saat ini. Beberapa gagasan tersebut adalah seperti yang dikemukakan oleh :

1) Mr. Mohammad Yamin (29 Mei 1945)
Pemikirannya diberi judul ”Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” dan mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yang intinya sebagai berikut:

  1. Peri kebangsaan;
  2. Peri kemanusiaan;
  3. Peri ketuhanan;
  4. Peri kerakyatan;
  5. Kesejahteraan rakyat.

2) Mr. Supomo (31 Mei 1945)

Pemikirannya berupa penjelasan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan dasar negara
Indonesia merdeka. Negara yang akan dibentuk hendaklah negara integralistik yang berdasarkan pada
hal-hal berikut ini:

  1. persatuan;
  2. kekeluargaan;
  3. keseimbangan lahir dan batin;
  4. musyawarah;
  5. keadilan sosial.

3) Ir. Sukarno (1 Juni 1945)

Pemikirannya terdiri atas lima asas berikut ini:

  1. kebangsaan Indonesia;
  2. internasionalisme atau perikemanusiaan;
  3. mufakat atau demokrasi
  4. kesejahteraan sosial;
  5. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Sidang Kedua pada tanggal  10 sampai dengan 17 Juli 1945

Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Panitia Sembilan, terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A. Maramis, Ir. Soekarno, KH. Abdul Kahar Moezakir, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, dan Mr.  Muh. Yamin. Panitia Sembilan berhasil membuat rancangan Preambule Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muh. Yamin disebut dengan istilah Piagam Jakarta.

Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

3. Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)

Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan pertama dari sistem pemerintahan Indonesia terhadap UUD 45.

4. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)

Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang di dalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya. Ini merupakan perubahan dari UUD 45 yang mengamanatkan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan.

5. Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)

Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.

6. Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)

Perangko "Kembali ke UUD 1945" dengan nominal 50 sen.Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:

Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara. MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.

7. Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)

Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:

  1. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.
  2. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
  3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

6. Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober 1999

Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.

7. Periode Perubahan UUD 1945

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

sumber referensi: 
  • http://www.empatpilarkebangsaan.web.id/
  • http://id.wikipedia.org/
  • Sejarah Indonesia blog

Friday, August 22, 2014

faktor yang mempengaruhi keefektifan implementasi kebijakan publik

Salam sobat, semoga sukses,,

A. Pendahuluan

Sebelumnya saya telah mengulas kajian implementasi kebijakan publik menurut para ahli, dan artikel yang sederhana inipun saya sajikan kembali untuk melanjutkan pembahasannya. Kajian kebijakan publik memang sangat kompleks dan dinamis. Artinya perubahan-perubahan teorinya akan berubah sejalan dengan perubahan kebijakan yang akan diwujudkan. Sekalipun memang kita akui bahwa teori kebijakan publik dasar-dasarnya sudah ada sejak zaman dulu.

B. Faktor Hambatan dan Peluang

Keberhasilan dan kegagalan implementasi kebijakan publik tergantung sejauhmana para aktor kebijakan memahami dan menerapkan analisis mereka. Karena pada dasarnya tidak ada satupun kebijakan yang dapat dikatakan berhasil seratus persen. Akan tetapi ada beberapa faktor yang perlu kita bahas disini terkait hambatan implementasi kebijakan publik dan peluang-peluang keberhasilannya. Diantaranya adalah:


1) Isi kebijakan

Kegagalan implementasi disebabkan oleh samarnya isi dari kebijakan, yaitu:
  1. Tujuan yang tidak cukup terperinci
  2. Sarana-sarana dan penetapan prioritas yang tidak jelas (tidak ada)
  3. Program kebijakan yang terlalu umum atau sama sekali tidak ada, dsb.
2) Kurang informasi

Kekurangan informasi mengakibatkan adanya gambaran yang kurang lengkap atau kurang tepat, baik mengenai pelaksana, isi kebijakan yang akan dilaksanakan dan hasil-hasil kebijakan. Struktur komunikasi antara organisasi pelaksana dan objek kebijakan. Objek kebijakan (kelompok sasaran) tidak cukup mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh pemerintah atau tentang kewajiban-kewajiban yang harus mereka penuhi.

3) Kurang Dukungan

Dukungan yang kurang sebelum atau sesudah adanya implementasi kebijakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa penolakan, ketidaksetujuan, atau indikasi perlawanan dari beberapa pihak, baik itu parlemen legislatif selaku aktor pembuat kebijakan, atau masyarakat sebagai objek kebijakan yang umum.

4) Adanya Pembagian potensi
  • Pembagian potensi diantara aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan;
  • Struktur dari organisasi pelaksana (pembagian wewenang dan tanggungjawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas, atau ditandai oleh pembatasan-pembatasan yang kurang jelas.
Charles O. Jones Book's: amazon.com
C. Faktor hambatan dan pendukung implementasi kebijakan menurut ahli

Charles O’Jones (Pengantar kebijakan Publik,1994) berpendapat bahwa "implementasi kebijakan dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program". Dalam hal ini, Charles berpendapat bahwa ada Tiga kegiatan sebagai pilar pendukung implementasi kebijakan publik:
  1. Organisasi : pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan.
  2. Interpretasi : menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.  
  3. Aplikasi : ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
Donald P. Warwick dalam bukunya integrating planning and implementation : a transactional Approach (1979) mengemukakan bahwa untuk lebih memahami berbagai masalah pada tahap pelaksanaan suatu rencana atau kebijakan, keterkaitan antara perencanaan dan implementasi tak dapat diabaikan. Proses perencanaan itu sendiri tidak dapat dilihat sebagai suatu proses yang terpisah dengan pelaksanaan. Pada tahap implementasi berbagai kekuatan akan berpengaruh baik faktor yang mendorong atau memperlancar, atau kekuatan yang menghambat pelaksanaan program.

a) Tahap perencanaan
  1. Kemampuan staf perencana
  2. Kemampuan organisasi perencana
  3. Kemampuan teknik analisis
  4. Mutu informasi yang dibutuhkan

b) Tahap implementasi program dan proyek-proyek
  1. Kondisi-kondisi atau faktor-faktor pendorong
  2. Komitmen pimpinan politik
  3. Kemampuan organisasi pelaksana
  4. Komitmen para pelaksana
  5. Dukungan dari kelompok kepentingan

c) Kondisi-kondisi atau faktor-faktor penghambat
  1. Banyaknya “pemain”
  2. Terdapat komitmen atau loyalitas ganda
  3. Kerumitan yang melekat pada proyek-proyek itu sendiri (faktor teknis, faktor ekonomi, pengadaan bahan dan aktor pelaku pelaksana atau masyarakat.
  4. Jenjang pengambilan keputusan yang terlalu banyak 
  5. Faktor lain: waktu dan perubahan kepemimpinan

Menurut Gordon Chase, hambatan utama dalam implementasi program pelayanan terhadap masyarakat, dapat dibedakan dalam 3 kategori, yaitu;
  1. Masalah-masalah yang timbul karena kebutuhan operasional yang melekat pada program itu sendiri;
  2. Masalah-masalah yang timbul dalam kaitan dengan sumber daya yang dibutuhkan guna pelaksanaan program tersebut;
  3. Masalah-masalah lain yang timbul karena keterkaitan dengan organisasi atau birokrasi lainnya, yang diperlukan dukungan, bantuan dan persetujuan guna pelaksanaan program tersebut.
Lebih lanjut, Gow dan Morss (dalam Yeremis T. Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik:Konsep, Teori Dan Isu, 2004)  berbagai hambatan dalam implementasi kebijakan publik diantaranya adalah :
  1. Hambatan politik, ekonomi dan lingkungan
  2. Kelemahan institusi
  3. Ketidakmampuan SDM di bidang teknis administratif
  4. Kekurangan dalam bantuan teknis
  5. Pengaturan waktu
  6. Sistem informasi yang mendukung
  7. Perbedaan agenda tujuan antara aktor
  8. Kurangnya desentralisasi dan partisipasi
  9. Dukungan yang berkesinambungan
D.L.Weimer dan Aidan R.Vining (policy Analysis: concept and practise,1999) terdapat 3 (tiga) faktor umum yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu:
  1. Logika yang digunakan oleh suatu kebijakan, dengan kata lain, seberapa benar teori yang dijadikan sebagai landasan kebijakan tersebut, atau seberapa jauh hubungan logis antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan;
  2. Hakekat kerjasama yang dibutuhkan, yaitu apakah semua pihak yang terlibat dalam kerjasama telah merupakan suatu assembling yang produktif;
  3. Ketersediaan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan, komitmen untuk mengelola pelaksanaannya
sumber: ChristopherHood.net
Christopher Hood ( dalam wayne parsons, public policy: pengantar teori dan praktik analisis kebijakan,2005) mengemukakan lima kondisi atau syarat untuk implementasi yang sempurna:
  1. Bahwa implementasi ideal itu adalah produk dari organisasi yang padu seperti militer, dengan garis otoritas yang tegas;
  2. Bahwa norma-norma akan ditegakkan dan tujuan ditentukan;
  3. Bahwa orang akan melaksanakan apa yang diminta dan diperintahkan;
  4. Bahwa harus ada komunikasi yang sempurna di dalam dan diantara organisasi;
  5. Bahwa tidak ada tekanan waktu.
Oleh sebab itu, Benny Hjern dan David O. Porter (implementation Structures : a new of administrative analysis,1981)  mengemukakan, bahwa implementasi seharusnya di analisis dalam konteks “ struktur institusional” yang tersusun dari “serangkaian” aktor dan organisasi. Program dapat dilihat sebagai sesuatu yang diimplementasikan dalam “kumpulan organisasi”. Sebuah program akan melibatkan banyak organisasi, organisasi lokal maupun organisasi nasional, organisasi swasta, organisasi bisnis, organisasi buruh, dsb. Program tidak dapat diimplementasikan oleh satu organisasi saja, tetapi harus melalui matriks atau serangkaian kumpulan organisasi.


Wednesday, August 20, 2014

kajian implementasi kebijakan publik menurut para ahli

Assalamu 'alaikum Sobat...

A. PENDAHULUAN

Kajian implementasi kebijakan publik menurut para ahli. Inilah judul yang saya pilih guna memudahkan anda yang butuh referensi atau sekedar ingin mampir untuk mengetahui beberapa hal  mengenai teori implementasi kebijakan publik. Sebelum artikel ini, beberapa topik yang erat kaitannya dengan studi kebijakan publik telah saya buatkan rubriknya secara khusus di blog ini. Diantara artikel yang sangat erat kaitannya dengan judul di atas adalah bahasan mengenai Model-model analisis kebijakan Publik. kata "erat kaitannya" sengaja saya tuliskan agar dua artikel kajian implementasi dan model analisis dapat anda ketahui perbedaannya. Perbedaan yang saya maksud berdasarkan teori dasar yang menyatakan bahwa teori dan model tidaklah sama dalam uraian studi kebijakan publik. Ingat ya? "dalam uraian studi kebijakan publik". Dalam studi kebijakan publik teori harus berlandaskan kepada model. Bukan teori dulu kemudian model. Karena penentuan model sangat membantu guna mendalami teori kebijakan publik yang dinamis. Mengenai bahasan ini anda dapat menemukannya dalam buku-buku kajian kebijakan publik, diantaranya buku Prof.Dr. Budi Winarno, yang mana saya sendiri menjadikannya referensi yang terdepan, tanpa mengesampingkan buku-buku para ahli kebijakan yang lain.

Sebelum mengulas kajian implementasi kebijakan publik, saya akan menguraikan sedikit mengenai Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan yang pada hakikatnya bertujuan untuk membuat suatu rumusan yang jelas dan terarah guna mengatur perihal kehidupan rakyat agar lebih baik. Apa itu kebijakan publik? Jika ingin mengulasnya kembali sobat bisa menjenguk ulasan saya di halaman yang lain dalam blog ini tentang pengertian kebijakan publik. Ok, Jika anda ingin mengetahui bagaimana implementasi kebijakan yang baik, anda harus mengetahui terlebih dahulu bahwa Kebijakan publik berpedoman kepada tiga hal berikut, yaitu:

  1. Bagaimana merumuskan kebijakan publik? Rumusan itu sendiri seringkali diistilahkan sebagai formula, formulasi, atau tahapan. Dalam studi kebijakan publik, formulasi  adalah rumusan-rumusan yang di lalui dengan beberapa tahapan. Seperti mendeteksi isu-isu sosial, melihat fenomena yang sedang ramai dibicarakan di masyarakat, dan sebagainya. Setiap tahapan ini akan selalu diterapkan manakala anda menjadi pembuat kebijakan,baik di lingkungan masyarakat, atau bahkan di tempat anda bekerja, semuanya butuh tahapan, dengan cara mendeteksi masalah-masalah dulu, kemudian membuat peringkat mana yang harus diprioritaskan, apa yang harus diperbuat, dan putuskan apa langkah selanjutnya. Maksud dari tahapan-tahapan yang saya sebutkan di atas keseluruhannya akan bermuara kepada satu kesimpulan, yakni  untuk menyusun draft kebijakan dalam bentuk peraturan dan perundangan dengan melalui tahapan-tahapan yang dirumuskan. Akan tetapi formulasi disini bukan sebagai hierarki (tingkatan), namun yang dimaksud adalah rumusan-rumusan yang berjenjang, sesuai dengan yang saya jelaskan di atas, dan harus sesuai dengan mayoritas masyarakat selaku objek kebijakan jika anda  ingin kebijakan yang anda berlakukan saat itu lebih maksimal dan minim resiko.
  2. Bagaimana implementasi kebijakan tersebut sesudah diberlakukan? Implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi (penerapan) suatu kebijakan tidak akan terlepas dari isu dan pro-kontra. Walaupun dianggap telah meliputi aspek situasi dan kondisi yang umum di masyarakat. Adanya gejolak penolakan kenaikan harga dasar tarif listrik, harga BBM, atau harga bahan pokok, merupakan hal yang lumrah dan memang beresiko. Karena tak ada kebijakan yang tidak beresiko. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan.
  3. Bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi? Kebijakan publik setelah penerapannya harus lah minim resiko dan penolakan. Atau kebijakan tersebut harus memang diperkirakan akan lebih banyak membawa manfaat dari pada ruginya. Oleh sebab itulah setiap aturan-aturan, atau undang-undang, PERDA, atau INPRES membutuhkan analisis yang baik guna mengevaluasi setiap kekurangan atau ketidaksesuain dengan konteks situasi dan kondisi saat diberlakukannya beberapa waktu.

B. DEFINISI

Buku referensi yang sebaiknya anda miliki
Jika kita berbicara mengenai implementasi kebijakan publik, maka akan kita temukan bahwa makna implementasi kebijakan itu adalah usaha, atau tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengubah keputusan menjadi tindakan yang sifatnya operasional bukan hanya sekedar administratif. Hal yang senada dijelaskan oleh Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) bahwa implementasi kebijakan publik sebagai: ”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.

Dengan kata lain, implementasi kebijakan merupakan draft kebijakan yang berubah wujud menjadi tindakan yang sifatnya operasional. Sedangkan yang di maksud dengan organisasi publik adalah  legislatif dan eksekutif.

Erwin Hargrove Book's should you buy  Please
Erwin Hargrove (1975) dengan bukunya The Missing link : The Study of Implementation of Social Policy menyatakan selama ini studi kebijakan publik hanya menitik-beratkan pada studi tentang proses pembuatan kebijakan dan studi –studi tentang evaluasi, tapi mengabaikan permasalahan-permasalahan pengimplementasian. Dan memang situasi dan kondisi kebijakan publik di Indonesia demikian halnya. Rumuskan,susun,dan evaluasi. Yah itu saja. Karena aktor pembuat kebijakan lebih banyak memandang bahwa implementasi sudah termasuk kategori pembahasan di saat adanya evaluasi. Padahal secara teknis, kajian mengenai implementasi  kebijakan dipandang sangat perlu. Karena setiap kebijakan yang telah diterapkan harus di manage secara sistematis, harus terlibat langsung ke lapangan. Oleh sebab itulah muncul teori-teori yang membahas tentang implementasi kebijakan publik. Agar kebijakan tersebut  lebih terarah, tepat sasaran, dan yang lebih diharapkan lagi adalah mengetahui kelemahan dan kekurangan kebijakan tersebut. Baru setelah itu akan sangat dimungkinkan apakah kebijakan tersebut akan di evaluasi atau bahkan di revisi.

Grindle dalam bukunya yang berjudul  Politics and Policy Implementation in The Third Word (1980), mengatakan bahwa dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan tergantung pada content (isi) dan contextnya, dan tingkat keberhasilannya tergantung pada  kondisi 3 komponen variabel sumberdaya implementasi yang diperlukan. Hal ini sejalan dengan penelitian implementasi kebijakan publik jika memusatkan perhatiannya pada:

a. Jenis dan isi kebijakan.
Hal ini sangat berpengaruh sekali terhadap keberhasilan suatu kebijakan yang diterapkan. Tatkala jenis dan isi kebijakan secara bersamaan sejalan dengan situasi dan kondisi, aspek sosial masyarakat, agama, dan ras, tentunya kebijakan tersebut boleh disebut kebijakan yang minim resiko penolakan.

b.Organisasi pelaksana dan sumberdayanya. Kedua hal ini tentunya juga memiliki pengaruh besar dalam kesuksesan suatu kebijakan. Berhasil atau gagal. Di terima atau di tolak. Sesuai atau tidak. Semuanya itu tergantung sumberdaya dan organisasi aktor kebijakan publik. Yang mana lembaga legislasi harus benar-benar berkompetensi demi mewujudkan aturan baru dan diterima. Selain itu, faktor analisis dalam hal ini menjadi penentu. Jika salah menanggapi isu seputar masalah-masalah publik, maka hasilnya pun akan jauh dari harapan. Seperti ketidak-sesuaian dengan situasi kondisi mayoritas publik, sehingga memunculkan gejolak di masyarakat yang berakhir dengan demo anarkis. Oleh sebab itulah  tak heran jika ada undang-undang yang belum genap berumur setahun sudah di revisi.

c.Pelaksana kebijakan (people): disebut juga sebagai objek kebijakan. Yang terdiri dari orang-perorangan, atau kelompok sosial.

C. MODEL PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


Donald Van Meter: sumber linkedin
Model proses implementasi kebijakan seperti yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn dengan menggunakan pendekatan yang menghubungkan antara variabel independen dan dependen. Anda masih ingat dengan apa yang dimaksud dengan variabel? apa yang di maksud independen dan dependen? . Izinkan saya menjelaskan secara nalar saya saja. Ok? bahwa variabel adalah objek, atau sesuatu yang akan di bahas. Dan yang di bahas itu adalakanya menjadi faktor X dan adakalanya faktor Y. Independen adalah variabel bebas, sedangkan dependen adalah terikat.

Carl.E Van Horn - sumber : media.philly.com
Maksudnya, bahwa dalam proses implementasi kebijakan adakalanya faktor tersebut sebagai faktor X yang dianggap sebagai faktor masalah dari faktor Y. Atau faktor X bisa jadi merupakan faktor pendukung bagi faktor Y. Seperti misalnya implementasi kebijakan atas kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). BBM adalah faktor Y, sedangkan faktor yang menjadikan BBM tersebut mengalami kenaikan adalah faktor X. Faktor X inilah nantinya yang akan di kaji. Karena dianggap sebagai faktor masalah, atau bahkan menjadi faktor pendukung. Namun perlu anda catat, ini hanya simulasi percontohan. Tapi tidak akan jauh berbeda dengan penjelasan di bawah ini.

Untuk menentukan variabel model-model kajian implementasi kebijakan, diperlukan beberapa konsep yang sistematis. Agar tidak terkesan asal-asalan, atau sekedar tebak-tebakan. Variabel ini sangat berguna dalam memahami model proses implementasi kebijakan, diantaranya adalah :
  1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan 
  2. Sumber-sumber kebijakan
  3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
  4. Karakteristik badan-badan pelaksana
  5. Kondisi-kondisi sosial dan politik
  6. kecenderungan pelaksana (implementor)
  7. Kaitan antara komponen-komponen model
Bagi para analis kebijakan, ke-tujuh poin di atas sangat dianjurkan untuk di telaah, agar nantinya mengetahui sejauhmana efektivitas dan manfaat suatu kebijakan yang telah di-implementasikan. Caranya seperti yang telah saya tuliskan di atas. Misalnya Implementasi kebijakan kenaikan harga BBM kita sebut sebagai faktor Y. Silahkan analisis faktor X nya. Dengan cara menganalisis satu demi satu ke -tujuh poin di atas. Seperti ukuran dasar dan tujuan kebijakannya apa? sumbernya apa? terus saja hingga poin ke-tujuh.

Thursday, August 14, 2014

sejarah perkembangan kebijakan publik : studi dan analisis kepatutan

Sejarah perkembangan kebijakan publik di dunia
 
Sejarah perkembangan kebijakan publik. Judul ini sengaja saya suguhkan sebagai argumen tambahan yang tujuannya adalah untuk mengetahui bahwa kebijakan publik itu telah ada, dan diterapkan secara sistematis dalam bentuk peraturan sejak zaman dahulu. Dalam ulasan kali ini, rasanya saya tidak perlu menyajikan ulang tentang apa itu kebijakan publik, ruang lingkupnya, masalah-masalahnya, dan sebagainya. Karena untuk hal itu telah saya tulis dalam artikel tersendiri di halaman yang lain di dalam blog ini.


Hammurabi Code -- sumber : wikipedia
Kebijakan publik sebenarnya sudah ada sejak abad 18 SM. Namun ketika itu hanya dianggap sebagai kode, bukan Undang-undang yang sistematis seperti saat ini, atau peraturan-peraturan.Tapi kode-kodenya mengandung makna aturan-aturan yang disebut dengan  kode HAMMURABI. HAMMURABI sendiri berada di kota Mesopotamia Irak selatan. Kode ini ditulis oleh penguasa Babilonia pada abad 18 SM yang berisi tentang pengaturan ketertiban publik, tentang persyaratan sosial ekonomi untuk suatu pemukiman daerah urban, mengatur tentang hak milik, perdagangan, hubungan keluarga, perkawinan, kesehatan, masalah kriminal, dsb.

Sekitar tahun 500-an sebelum masehi dalam sejarah peradaban Barat, zaman Yunani Kuno dianggap sebagai babak awal terhadap kajian-kajian tentang negara. Sebab pada zaman Yunani Kuno pada tahun 500-an SM itulah mulai muncul pemikiran-pemikiran tentang negara oleh para filofof seperti Plato dan Aristoteles. Namun setelah runtuhnya peradaban Yunani dan Romawi, dunia Barat memasuki abad kegelapan (dark ages) sekitar abad ke 5, dimana pemikiran tentang negara didominasi oleh gagasan Kristiani

Kautilya sumber greatthoughtstreasury.com
Sementara di dunia Timur tepatnya di India, dalam arthasastra yang ditulis kira-kira 321-300 SM oleh Kautilya, Perdana Menteri kerajaan Chandragupta Maurya juga telah mengemukakan pemikirannya tentang negara. Dalam bukunya itu, ia membentangkan teori tentang “ikan besar memakan ikan kecil” (fish law). Menurut penulis, teori yang dikemukakan Kautilya ini dapat mewakili pemikiran Hindu tentang negara. Berdasarkan teori yang dikemukakan Kautilya, dapat dipahami bahwa alasan adanya negara adalah untuk melindungi kelompok yang lemah dari ancaman kelompok yang lebih kuat. Negara diperlukan untuk mencegah terjadinya hukum rimba, dimana kelompok yang kuat menindas kelompok yang lemah. Dalam konteks ini pemikiran Hindu tentang negara bersifat “struktur-fungsional”. Artinya, eksistensi negara harus mampu memberikan perlindungan atas seluruh kehidupan sosial (ekonomi, politik, budaya dll) warga negaranya, terlepas dari latar belakang masyarakat yang ikut bergabung ke dalam negara tersebut.

Hampir 1000 tahun berlalu dari masa kegelapan di Yunani, ilmu pengetahuan berkembang pesat di eropa sekitar abad 15 M. Para ilmuwan menemukan berbagai karya yang sangat-sangat bermanfaat bagi manusia hingga saat ini, seperti lampu yang di klaim ditemukan oleh Thomas alfa edison, teleskop di klaim ditemukan oleh Hans Lippershey Tahun 1608 namun belum ada hak paten, atau Galileo di tahun berikutnya yakni tahun 1609 Masehi dengan fungsi teleskop astronomis yang kita kenal saat ini, dan lain sebagainya.Banyaknya penemuan-penemuan itu membuat mereka membutuhkan sebuah regulasi (aturan) di setiap sektor bidang keilmuan mereka masing-masing. Gunanya untuk mengatur hak privasi dan hak cipta mereka.


Harold D Laswell sumber: greatthoughtstreasury.com
Pada abad ke-19 kontroversi seputar kebijakan publik semakin marak. Hal ini didasari atas pertanyaan apakah  Kebijakan publik sebagai bidang kajian dan dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Kontroversi ini dianggap wajar, mengingat ketika itu studi tentang hal-hal yang beraroma pemerintahan, peraturan-peraturan,  sudah ada dalam ilmu sosial dan ilmu politik. Jadi pengertian kebijakan publik pun di masa itu belum dapat didefinisikan. Bahkan di abad ke-19 belum dikenal adanya istilah Policy Science (ilmu tentang kebijakan). Istilah Policy Science sendiri sebenarnya diperkenalkan oleh Harold D. Laswell. Sebagai catatan Harold D. Laswell bersama Myres S.McDougal merupakan ilmuwan politik yang dianggap sebagai pencetus teori-teori dalam studi komunikasi. Harold yang dilahirkan pada 13 Februari 1902 dan Wafat 18 Desember 1978 merupakan pengembang teori-teori ilmu sosial modern.
Sejarah Perkembangan kebijakan Publik di Indonesia
 
Lalu bagaimana lahirnya kebijakan publik di Indonesia?  Asumsi umum adanya kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia sejak tahun 400-an merupakan bukti adanya kebijakan publik. Walaupun secara kontekstual belum tertulis dalam sejarah secara riil. Akan tetapi dalam sejarah yang umum ditemukan sejarah bahwa Mpu Tantular, Mpu Prapanca, adalah para pemikir yang kemudian menjadi penasehat raja di Majapahit sekitar abad ke 13 M. Hingga abad ke -18 hukum-hukum perdata karya Belanda menjadi konsumsi pendidikan pemuda Indonesia sebagai cikal-bakal ilmu kebijakan publik. Hingga saat ini. 


Ilmuwan politik/ pemerintahan pada awalnya sedikit sekali yang tertarik untuk mengkaji kebijakan publik. Penyebabnya antara lain:

  1. Mereka menganggap bahwa telaah atau kajian kebijakan publik termasuk bidang ilmu administrasi, bukan ilmu politik / pemerintahan, mereka khawatir terjebak kepada analisis struktur dan teknis seperti banyak terjadi dalam ilmu administrasi publik. 
  2. Kurangnya informasi bahwa telaah mengenai kebijakan publik bisa menyajikan analisa dinamika sosial, ekonomi dan politik yang merupakan tuntutan politik.

Tapi akhir-akhir ini ilmuwan politik semakin menaruh minat yang besar terhadap studi kebijakan publik. Hal ini disebabkan oleh revolusi teknologi dan komunikasi dan globalisasi sehingga terjadi gelombang demokratisasi yang menjalar terus ke berbagai negara termasuk indonesia. Kondisi ini mendorong terlibatnya aktor aktor baru dalam perumusan kebijakan publik. Kebijakan publik tidak lagi didominasi oleh segelintir elit politik yang tidak dapat di kritik, namun kini telah melibatkan semakin banyak warga negara dan kelompok-kelompok kepentingan. Dengan demikian pemerintah dihadapkan pada tuntutan-tuntutan yang semakin beragam. Globalisasi informasi telah melahirkan budaya kritis masyarakat sehingga pemerintah harus semakin responsif dan akomodatif.

Dalam kasus di Indonesia, sejak jatuhnya rezim orde baru, proses politik dipengaruhi oleh pasang surutnya wacana demokrasi dan reformasi. Kebijakan-kebijakan publik masa lalu digugat, sementara kebijakan-kebijakan baru disusun untuk memecahkan persoalan-persoalan yang kini dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah tersebut mendapatkan dukungan, namun tidak sedikit yang justru mendorong terjadinya resistensi dikalangan pejabat, kelompok-kelompok dalam masyarakat dan menimbulkan kontroversi. Kebijakan publik dalam hal restrukturisasi perbankan, perpajakan, menjadi salah satu contohnya.

Studi kebijakan publik di Indonesia menjadi semakin penting dan menarik jika dikaitkan dengan wacana otonomi daerah yang kini tengah dijalankan. Pelaksanaan otonomi daerah tersebut diharapkan akan memberikan kesejahteraan kepada sebagian besar rakyat, namun dibalik harapan tersebut justru ada perasaan ke khawatiran. Otonomi daerah dikhawatirkan akan melahirkan “raja-raja kecil” di daerah yang tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Dengan asumsi demikian, maka studi kebijakan publik dengan alasan profesional menjadi semakin dibutuhkan. Oleh karena itu, studi-studi kebijakan publik di indonesia diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan publik yang akan datang.

Dalam analisa kebijakan publik dari sudut pandang politik  yang dipermasalahkan adalah antara lain “Bagaimana dampak suatu kebijakan publik terhadap kehidupan sosial politik masyarakat?” misalnya penurunan produksi beras bukan hanya karena telah kurang baiknya sistem penyaluran pupuk, irigasi, dan pestisida, tapi yang terpenting adalah karena tidak adanya komitmen pemerintah untuk menaikkan produksi beras.

Jadi kebijakan publik itu harus dianggap sebagai dinamikanya politik atau pemerintahan.

Untuk artikel selanjutnya, InsyaAllah saya akan bahas mengenai evolusi kebijakan publik sesuai dengan perkembangan jaman, kondisi sosial, dan sejarah ahli yang mengemukakannya.



teori kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik

A. Pendahuluan

Sebelumnya saya pernah mengulas definisi kebijakan publik, dan rasanya saya ingin melengkapinya tanpa memperbaharui artikelnya. Bukannya saya bermasalah dengan editannya, tapi saya ingin agar artikel tersebut tetap hidup dalam kenangan blog saya yang hampir 2 tahun tidak terurus karena berbagai kesibukan politik receh, heheh.

Jika kita hendak mengupas tuntas masalah kebijakan publik sampai ke akar-akarnya, mungkin akan sulit jika kita tidak menggeluti dunia politik dan lingkungannya. Walaupun sekedar teori sebenarnya sangat membantu untuk sekedar paham apa dan seperti apa kebijakan publik tersebut.
Di postingan kali ini saya akan mencoba mengulas istilah-istilah yang seringkali dikaitkan dengan istilah kebijakan publik. Saya mengutip satu paper susunan dosen Prof.Dr. Utang Suwaryo. Terimakasih kepada Beliau, semoga ilmunya bermanfaat. Dalam kutipan ini dijelaskan istilah-istilah kebijakan dalam pengertian modern.

B. Istilah Kebijakan Publik

Hogwood dan Gun (dalam Parson:2005:15) menyebutkan ada 10 penggunaan istilah kebijakan dalam pengertian modern:
  1. Sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas
  2. Sebagai ekspresi untuk tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan
  3. Sebagai keputusan pemerintah
  4. Sebagai otorisasi formal
  5. Sebagai sebuah program
  6. Sebagai output
  7. Sebagai outcome
  8. Sebagai teori atau model
  9. Sebagai sebuah proses
Nah, 10 istilah inilah yang seringkali dipergunakan oleh para ahli kebijakan saat ini untuk menyusun dan menggambarkan definisi atau pengertian kebijakan publik. Dari 10 istilah tersebut kata "keputusan pemerintah" pada poin nomor 4 menjadi kata terlaris untuk susunan sebuah definisi kebijakan publik.Selanjutnya ada kata " sebagai sebuah proses" Tentu sobat semua bisa melanjutkannya kan? heheh
Memang menyusun definisi tidaklah mudah. Harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya "tidak boleh terlalu umum, tidak boleh terlalu khusus, atau tidak boleh menggunakan kata yang sulit dipahami". Dalam definisi kebijakan publik yang umum saat ini, dan bertebaran di dunia nyata maupun dunia nyata, biasanya definisinya memiliki 5 unsur yang memang layak dan sesuai dengan kondisi real nya saat ini.
Kebijakan itu memiliki 5 unsur ;
    1. Tujuan 2. Rencana 3. Program 4. Keputusan 5. Efek atau dampak
Inilah 5 unsurnya. Artinya kebijakan itu harus mengandung tujuan, rencana, program, agar tercapai keputusan yang baik secara mayoritas sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Lalu bagaimana jika keputusan tersebut nantinya justru berdampak buruk bagi masyarakat? Nah disinilah nantinya peran para analis kebijakan. Insya Allah lain waktu akan saya bahas juga mengenai analisis kebijakan publik. 
Untuk saat ini kita kembali ke topik semula, yakni apa pengertian kebijakan publik.
C. Definisi menurut para ahli
Menurut Harold D Laswell dan Abraham Kaplan, memberi arti kebijakan sebagai “ a project program of goals, values and practise” (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah). Definisi ini lebih menekankan kepada hasil tanpa menjelaskan aktor kebijakan yang membuat keputusan. Namun aspek manajerialnya ada, hal ini mengacu kepada kalimat " praktek-praktek yang terarah".
James E Anderson mengemukakan bahwa kebijakan adalah “ a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” ( serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang di ikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu). Definisi ini menjelaskan aktor kebijakan, yng digambarkan sebagai kelompok yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan. Di Negara Indonesia, lembaga legislatif adalah aktor yang paling awal untuk menyusun draft kebijakan-kebijakan yang akan dijadikan undang-undang dan peraturan.

Amara Raksasataya mengemukakan kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan ( tjokroamidjojo,1976)

Thomas R dye mendefinisikan kebijakan sebagai “ is whatever government choose to do or not to do” ( apapaun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan) Definisi ini dikenal sebagai definisi klasik. Teorinya identik dengan apa yang disebut sebagai administrasi negara, bukan administrasi publik. Saya berasumsi bahwa teori ini mempercayakan kepada pemerintah secara mutlak untuk menyusun draft kebijakan. Hanya pemerintah saja. Sementara masyarakat, stakholder cenderung hanya sebagai formalitas untuk hadir. Beda halnya dengan era adminstrasi publik zaman sekarang yang diikuti dan di awasi oleh masyarakat penyusunannya.

David Easton memberikan arti kebijakan publik sebagai “ the authoritative allocation of values for the whole society” (pengalokasian nilai-nilai secara paksa/ sah kepada seluruh anggota masyarakat. Teori ini sama halnya dengan teori Thomas R dye dari segi hak mutlak pemerintah.   

D. Agenda Kebijakan Publik

Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit  dan terbatas jumlahnya.
Dalam hal ini, Lester dan Steward dalam Winarno (2002 : 60) menyatakan bahwa suatu isu akan mendapat perhatian bila memenuhi beberapa kriteria yakni : 
  1. Bila suatu isu telah melampaui proporsi suatu krisis dan tidak dapat terlalu lama didiamkan.
  2. Mempunyai sifat partikularitas, di mana isu tersebut menunjukkan dan mendramatisir isu yang lebih besar.
  3. Mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena faktor human interest.
  4. Mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi dari masyarakat.

Sedangkan Abidin (2004:107) menjelaskan bahwa “masalah publik dapat dibagi ke dalam masalah strategis dan masalah yang tidak strategis (taktis)”. Masalah strategis adalah masalah yang antara lain memenuhi keempat syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Luas cakupannya. Artinya, wawasan cakupannya tidak hanya meliputi satu sektor atau satu wilayah saja, tetapi meliputi beberapa sektor/wilayah.
  2. Jangka waktunya panjang. Pengertian ini erat hubungannya dengan tujuan dari perencanaan jangka panjang. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa penyelesaian masalah memerlukan waktu yang panjang dan dampak yang ditimbulkan bisa jadi mempunyai akibat yang jauh ke depan.
  3. Mempunyai keterkaitan yang luas. Substansi permasalahan dan cara-cara penyelesaiannya menyangkut banyak pihak dalam masyarakat 
  4. Mengandung resiko dan kemungkinan keuntungan yang besar. Rugi yang ditimbulkan atau hasil yang mungkin diperoleh akibat dari penanganan masalah tersebut cukup besar baik dalam nilai.
    Banyaknya teori-teori seputar definisi kebijakan publik, maka yang paling mendekati kondisi real saat ini adalah teori nomor 2 berdasarkan asumsi lebih  dekat dengan teori administrasi publik modern. Mungkin sobat sekalian punya pendapat lain, monggo komentarnya ditunggu. 

    Artikel lainnya : faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan publik 

    Popular Posts