Sukabumi, Jawa Barat muhsin@administrasipublik.com muhsin.alhasan

cinta indonesia, blog politik, share dan diskusi politik negeri, perkembangan politik, kebijakan politik, kebijakan ekonomi mikro dan makro, kebijakan pendidikan, peraturan terbaru, harga sembako, harga bbm, partai politik, pemilu tahun 2024, komisi pemilihan umum, bawaslu, disentralisasi, geopolitik

Saturday, October 4, 2014

model-model analisis kebijakan publik

Hallo blogger yang baik.. Assalamu 'alaikum,, salam sejahtera buat kalian..

A.Pendahuluan

Beberapa artikel yang topiknya mengenai kebijakan publik telah saya ulas sebelumnya. Mulai dari teori dasar kebijakan publik, hingga masalah-masalah publik yang membedakannya dengan masalah private. Kebijakan publik sebenarnya mayoritas mengandalkan teori, namun dalam beberapa metode membutuhkan analisis dengan model-model tertentu.  

Perlu kita ketahui, bahwa teori dan model itu beda. Ada teori, ada model. Dengan kata lain, ada teori kebijakan publik, ada model kebijakan publik. Namun model-model ini lebih sering digunakan dalam analisis saja. Bukan untuk menjelaskan teori dasarnya. 

B. Kriteria Model kebijakan 

Menurut Brodbeck (1959:374) Model itu sendiri sebenarnya merupakan representasi teori yang disederhanakan tentang dunia nyata. Ia lebih merujuk pada sebuah konsep atau bagan untuk menyederhanakan realitas. Berbeda dengan teori yang kesahihannya telah dibuktikan melalui pengujian empiris, model didasarkan pada isomorpishm, yaitu kesamaan-kesamaan antara kenyataan satu dengan kenyataan lainnya. Model akan menjadi teori jika benar-benar isomorfis dan ditemukan bukti-bukti empirisnya.

Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar sekali manfaatnya. Hal ini beralasan kepada 2 (dua) hal, yakni:
  1. Kebijakan publik merupakan proses yang kompleks. Dengan adanya "Model" maka realitas akan sangat membantu realitas yang komplek tersebut. Denga kata lain, bahwa "Model" dapat menyederhanakan teori-teori kebijakan publik, seperti model implementasi, model analisis, model evaluasi, dan sebagainya. 
  2. Sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu, maka peran model akan sangat berguna untuk mengkaji teori-teori kebijakan publik dan realitasnya. 
Namun demikian, meskipun model sangat membantu bagi kita untuk mengkaji teori-teori dan realitas kebiijakan publik, akan tetapi kita membutuhkan kritera-kriteria model seperti apakah yang membantu atau tidak membantu sama sekali. Untuk itu, Thomas R.Dye menyarankan beberapa kriteria model berikut ini yang di klaim sebagai model yang akan membantu kita mengkaji teori-teori realitas kebijakan publik, diantaranya adalah:

  1. Model tidak boleh terlalu sederhana, dan juga tidak boleh terlalu kompleks. Model yang terlalu sederhana akan mendorong terjadinya pengertian yang salah, sedang model yang terlalu  kompleks justru akan membingungkan. 
  2. Model harus mengidentifikasikan aspek-aspek yang paling penting bagi kebijakan publik. Seperti fenomena politik yang paling menonjol saat itu, atau suatu fenomena sosial yang ramai diperbincangkan hingga menjadi masalah. 
  3. Model Kongruen (sama dan sebangun). Artinya model harus menjembatani atau menghubungkan realitas suatu fenomena dengan situasi yang lebih spesifik. 
  4. Model harus memiliki konsep yang dapat dimengerti oleh bersama. 
  5. Model harus dapat diuji, diukur, dan diamati, serta dapat diverifikasi. 
  6. Model harus memberikan penjelasan mengenai kebijakan publik. 
Thomas R.Dye sumber : floridamemory.com
Enam model inilah yang harus ada dalam analisis kebijakan publik sebagai syarat utama dalam kajian kebijakan publik. Dan pendapat dari Thomas R. Dye inilah yang paling sering dijadikan acuan atau rujukan setiap analis kebijakan publik. 

Berbeda dengan Thomas R. Dye justru Lester dan Stewart lebih menekankan bahwa model kebijakan publik yang paling baik adalah model elitis dan model pluralis. Penjelasannya sebagai berikut:

1. Model elitis

Model ini pernah diterapkan di Indonesia sejak zaman orde baru. Bahkan di korea utara, Kuba, pernah juga menerapkannya. Teori ini cenderung seperti konsep kebijakan publik pada zaman kuno. Teori elit mengatakan bahwa semua lembaga politik dan lembaga masyarakat di dominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka. Sepertinya di Indonesia, hal seperti ini bukan hal yang baru, dan akan tetap langgeng. Hal ini didasari atas bahwa kepentingan elit politik demi gengsi partai politik dan kedudukan bisa saja mengubah konteks kebijakan dalam bentuk perubahan Undang-Undang. Karena setiap elemen parlemen dihuni oleh para anggota partai politik, dan akan lebih cenderung memikirkan penguatan kepentingan-kepentingan mereka.

2. Model Pluralis

Model ini kebalikan dari model elitis yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elit politik. Model pluralis lebih percaya pada subsistem-subsistem yang berada dalam sistem demokrasi. Di Negara berkembang, model elitis akan cukup memadai menjelaskan proses politik yang berlangsung, namun akan kesulitan dalam menjelaskan proses politik di Negara yang mendasarkan diri pada sistem demokrasi, seperti Amerika Serikat. 

Robert Dahl dan David Truman merupakan 2(dua) ilmuwan yang merangkum tentang uraian model pluralis ini. Mereka berpandangan bahwa model pluralis tidak membeda-bedakan antara "elit" dan "masyarakat". Sekalipun pada pendapat yang lain Dye dan Zeigler berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan preferensi nilai-nilai dari para elit yang berkuasa.

Perbedaan antara model elite dan pluralis ini hanya berkisar pada siapa yang kuasa, yang punya otoritas, dan kewenangan. Sehingga, dengan adanya hipotesis seperti ini, ada dugaan bahwa hal inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi apatis terhadap anggota dewan, anggota yang ada di parlemen.

Maka tidaklah salah teori yang dikemukakan oleh Thomas R.Dye, bahwa Rakyat cenderung berprilaku "apatis" terhadap pemerintah selaku aktor pembuat kebijakan. Karena Rakyat tidak memperoleh informasi yang luas mengenai kebijakan-kebijakan tersebut. Termasuk rancangan undang-undangnya, atau peraturan apa dan bagaimana akan dibuat. Rakyat cenderung tidak mau tahu. Dan itu disebabkan oleh ketidakterbukaan sistem informasi kebijakan yang akan disusun oleh pemerintah. 

C. Pendekatan dalam analisis kebijakan Publik

Para ilmuwan telah menemukan teori-teori dan model-model untuk membantu mereka dalam memahami dan menjelaskan proses pembuatan kebijakan publik. Mereka juga mengembangkan teori-teori pendekatan yang sifatnya teori untuk membantu mereka dalam mempelajari perilaku dari seluruh sistem politik. Sekalipun teori pendekatan ini belum dikembangkan dalam proses analisis kebijakan, namun pendekatan-pendekatan ini dapat diubah dengan mudah untuk tujuan tersebut. Diantara pendekatan-pendekatan tersebut adalah:
  1. Pendekatan kelompok, yakni secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat. Mereka mempertahankan, membela, dan bersaing demi tujuan mereka. Biasanya pendekatan kelompok jika gagal mencapai tujuannya, maka mereka akan menggunakan politik dan membentuk kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknya. Contohnya seperti Partai politik di Indonesia, kubu oposisi dan kubu yang berkoalisi dengan pemerintah adalah cerminan pendekatan kelompok. 
  2. Pendekatan Proses Fungsional, pendekatan ini lebih bertumpu kepada intelektualitas, rekomendasi, aplikasi, dan terminasi. Artinya, setiap kebijakan tersebut harus dipertanyakan lebih dahulu, apakah informasi kebijakan tersebut hanya mengandalkan intelektualitas saja? rekomendasinya bagaimana? aplikasinya bagaimana? 
  3. Pendekatan kelembagaan, dengan melakukan analisis kebijakan melalui pendekatan pada lembaga-lembaga institusi. Seperti presiden, kementrian, kepala daerah, dan sebagainya. Karena lembaga-lembaga ini memiliki karakterisktik yang berbeda terhadap kebijakan.
  4. Pendekatan peran serta warganegara. Pendekatan ini memang teori klasik, namun sangat demokratis. Selain itu, mengajarkan masyarakat untuk lebih memahami ranah politik, serta pendewasaan untuk menilai kebijakan-kebijakan yang ada. 
  5. Pendekatan Psikologis. Menurut Amir santoso, pendekatan ini menjelaskan hubungan antar-pribadi antara perumus dan pelaksana kebijakan. 
Banyaknya teori pendekatan di atas, menunjukkan bahwa kebijakan publik memiliki teori yang statis dengan penerapan yang statis juga. lalu bagaimana caranya agar kebijakan yang diterbitkan kemudian hari berlaku secara efektif? simak artikel sederhana lainnya mengenai Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Implementasi Kebijakan Publik di tulisan saya selanjutnya. 

    Friday, October 3, 2014

    evolusi dalam studi kebijakan publik

    Hello sobat blogger.. semoga tetap sehat, sukses,,

    Sudah lama rasanya tidak update artikel di blog yang sederhana, dan pada kesempatan kali ini, saya ada sedikit semangat lagi untuk menulis. Kebetulan ada buku, dan sesuai dengan niat yang ada di hati,,

    Evolusi Ilmu kebijakan Publik
    Sebelumnya saya telah menulis sedikit mengenai sejarah kebijakan Publik. Dalam kesempatan ini sebagai lanjutan dari artikel tersebut, saya akan mengemukakan tumbuh dan berkembangnya kebijakan publik tersebut mengikuti kondisi kehidupan.
    Para ilmuwan politik, dalam pengajaran dan penelitian mereka biasanya memiliki perhatian yang besar terhadap proses-proses politik, seperti proses legislatif atau pemilihan, atau elemen-elemen sistem politik. 

    Bila kebijakan publik dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, maka minat untuk mengkaji kebijakan publik telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak Plato dan Aristoteles. Namun demikian, pada waktu studi mengenai kebijakan publik masih berpijak pada lembaga-lembaga Negara. Ilmu politik tradisional lebih menekankan pada studi-studi kelembagaan dan pembenaran filosofis terhadap tindakan-tindakan pemerintah, namun kurang menaruh perhatian terhadap hubungan antarlembaga tersebut dengan kebijakan-kebijakan publik.  Setelah itu, perhatian para ilmuwan politik mulai beranjak pada masalah proses dan pola tingkah laku yang berkaitan dengan pemerintahan dan aktor-aktor politik. Dengan adanya perubahan orientasi ini maka mulai ada anggapan bahwa ilmu politik mulai memberi perhatian kepada masalah-masalah pembuatan keputusan secara kolektif atau perumusan kebijakan. 

    Dewasa ini, para ilmuwan politik mempunyai perhatian yang meningkat terhadap studi kebijakan publik-deskriptif, analisis dan penjelasan terhadap sebab-sebab dan akibat-akibat dari kegiatan pemerintah. Sebagaimana Thomas Dye mengatakannya dengan tepat, hal ini mencakup deskripsi tentang point-poin berikut ini:
    1. substansi kebijakan non-publik;
    2. penilaian terhadap dampak dari kekuatan-kekuatan lingkungan pada substansi kebijakan; 
    3. suatu analisis tehadap efek dari macam-macam aturan kelembagaan; 
    4. suatu penyelidikan terhadap konsekuensi-konsekuensi dari berbagai kebijakan publik bagi sistem politik; dan 
    5. suatu evaluasi terhadap dampak yang diinginkan dan dampak yang tidak diinginkan. 

    Dengan demikian, orang diarahkan untuk mencari jawaban-jawaban terhadap pernyataan-pernyataan seperti: apakah substansi sebenarnya dari kebijakan pemberantasan korupsi? Apakah dampak kebijakan debirokratisasi dan deregulasi terhadap ekspor non-migas Indonesia? Bagaimana kebijakan DPR membantu membentuk kebijakan pertanian? Apakah pemilihan Umum mempengaruhi kebijakan publik? Siapa yang beruntung dan siapa yang rugi dengan adanya kebijakan pajak? 

    Pertanyaan-pertanyaan seperti ini pada dasarnya ingin mencari jawaban mengapa para ilmuwan politik mempunyai perhatian besar terhadap studi kebijakan publik. 

    Minat para ilmuwan politik untuk mengkaji kebijakan publik didasari alasan, seperti dapat di lihat dalam uraian Lester dan stewart maupun Anderson. Diantara dasar masalah dan alasan mereka adalah:

    1. Mengapa ilmuwan tertarik mempelajari kebijakan publik? 

    Maka alasannya adalah karena kebijakan publik sifatnya ilmiah. Kebijakan publik dapat dipelajari untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang asal muasalnya, proses perkembangannya, dan konsekuensinya bagi masyarakat. Pada gilirannya, hal ini akan menambah pengertian tentang sistem politik dan masyarakat secara umum. Dalam konteks seperti ini, maka kebijakan dipandang sebagai variabel terikat (dependent Variabel) maupun sebagai Variabel bebas (Independen Variabel). Jika kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian kita akan tertuju kepada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu menentukan substansi kebijakan. Misalnya, bagaimana kebijakan dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan antara kelompok-kelompok penekan dan lembaga-lembaga pemerintah? atau bagaimana kebijakan memengaruhi dukungan bagi sistem politik? atau pengaruh apa yang ditimbulkan oleh kebijakan  pada keadaan sosial Masyarakat?

    2. Alasan yang kedua untuk mengkaji kebijakan publik adalah karena alasan profesional.

    Dalam hal ini, Don K.Price membuat pembedaan antara "tingkatan ilmiah" (the scientific estate) yang hanya menentukan pengetahuan dan "tingkatan profesional" (the profesional estate) yang berusaha menerapkan pengetahuan ilmiah kepada penyelesaian masalah-masalah sosial praktis. Disini kita tidak akan memberikan perhatian kepada masalah " apakah ilmuwan politik harus membantu dalam menentukan tujuan-tujuan kebijakan publik atau tidak? " Namun dalam bagian ini para ilmuwan politik hingga sampai saat ini belum sepakat. Karena beberapa ilmuwan politik setuju bahwa seorang ilmuwan dapat membantu menentukan tujuan-tujuan kebijakan publik, dan ilmuwan yang lain tidak setuju. Mereka yang tidak setuju beralasan bahwa, sebagai seorang ilmuwan mereka tidak mempunyai keahlian khusus untuk mengerjakan hal tersebut. 

    James Anderson adalah salah satu ilmuwan yang mendukung pendapat pertama. Menurut Anderson, jika kita mengetahui sesuatu fakta-fakta yang membantu dalam membentuk kebijakan-kebijakan publik atau konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan yang mungkin timbul, sementara kita dapat memberikan manfaat mengenai bagaimana individu-individu, kelompok-kelompok atau pemerintah dapat bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, maka kita layak memberikan hal tersebut dan tidak layak berdiam diri. Dengan demikian, menurut Anderson, adalah sah bagi seorang ilmuwan, karena pengetahuan yang dimilikinya, memberikan saran-saran kepada pemerintah maupun pemegang otoritas pembuat kebijakan agar kebijakan yang dihasilkan mampu memecahkan persoalan dengan baik. 

    3. Yang ketiga adalah alasan Politik
    Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa beberapa ilmuwan politik tidak sependapat. Dengan kata lain, ada yang berpendapat ilmuwan politik harus turut serta membantu menentukan kebijakan publik. Sementara ilmuwan politik yang lain menolaknya dengan tegas. Penolakan ini bukannya tidak beralasan. Mereka beralasan, cukuplah para ilmuwan hanya menganalisis, memberitahukan, dan membuat usulan saja. Dan tidak harus "ikut-ikutan" berpolitik. 

    Hingga saat ini, tulisan-tulisan, makalah, hingga journal tentang kebijakan publik telah banyak beredar di berbagai pelosok dunia. Dan alasan yang mereka ajukan pun berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa evolusi kebijakan publik memang telah berkembang dengan pesat. Karena dengan berbagai alasan tersebut, studi tentang kebijakan publik seolah menjamur dengan berbagai pro-kontra sesuai perkembangan zaman. 

    Dulu, seorang ilmuwan yang mempelajari dan menulis kebijakan-kebijakan pemerintah selalu di awasi. Bahkan jika diketahui analisisnya tidak berpihak kepada penguasa, maka penjara adalah bagiannya, atau mungkin lebih dari itu. Dengan kata lain, analisis lah yang baik-baiknya saja. Jika tidak, penjara bagianmu. 

    Di era reformasi Indonesia saat ini contohnya. Namun anda dapat memberikan masukan bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut apabila dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan sebelum era reformasi. Apakah reformasi yang lebih mendukung studi kebijakan? atau hanya mendukung sekedar tulisan semata. 


    Muhsin Al Hasani,S.Ip
    sumber Buku : Kebijakan Publik, Teori, Proses, dan Studi Kasus
    Oleh :
    Prof. Dr. Budi Winarno,MA,PhD


    Sekian



    Monday, September 29, 2014

    Reformasi teknologi pelayanan publik pemerintah

    Pada postingan sebelumnya kita telah membahas sedikit mengenai administrasi publik. Dimana kesimpulan yang dapat diambil diantaranya adalah efisiensi dan efekitivity agar proses pelayanan terhadap masyarakat lebih mudah, dengan akselerasi yang cepat.Tentunya proses untuk semua itu memerlukan dukungan sumber daya yang dibutuhkan untuk pencapaiannya.
    e-adm

    Dan peran SDM yang berkualitas serta benar, tentunya menjadi tolak ukur dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan merakyat. Memang ini lah tujuan dasar pemerintah yang katanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi seringkali kita disuguhkan dengan berbagai persyaratan yang notabene lebih cenderung mempersulit pelayanan itu sendiri. Seperti pelayanan KTP, NPWP pajak, dan sebagainya. Sekalipun dalam kenyataannya tuntutan akan kewajiban yang diembankan terhadap kita (warga negara) mau tidak mau wajib, prosedurnya begini,datang lah ke kantor pelayanan, dan jika tidak??..sanksi menunggu mu,,,heheheh

    Dilatarbelakangi masalah ini,maka judul postingan kali ini adalah e-gove dan e-adm. Dimana "E" disini adalah elektronik dalam government dan adminitrasi. Singkatnya Elektronik dalam administrasi pemerintahan. Sekali lagi, tujuannya adalah efisiensi pelayanan.Adapun masalahnya dalam implementasi pelayanan tersebut, tentunya lain lagi ceritanya. Menurut Caldow (indrajit dalam Akadun 2009,131) bahwa "E-government adalah pemanfaatan teknologi informasi sebagai fasilitas dan komunikasi (TIK) guna pelaksanaan pemerintah yang efisien dan murah,dengan meningkatkan pelayanan masyarakat dengan cara menyediakan sarana publik sehingga mudah mendapatkan informasi,dan menciptakan pemerintahan yang baik." 

    Dalam hal ini Tjahjanto(2002) menyatakan bahwa manfaat terpenting dari implementasi e-government adalah terwujudnya pemerintahan yang lebih bertanggung jawab (accountable) bagi warganya.Lebih lanjut, mengenai manfaat dari teknologi informasi berdasarkan karakteristik yang digunakan dalam e-government,Dr Akadun (2009,137) menyimpulkan bahwa teknologi informasi memiliki beberapa manfaat,antara lain : 
    1. Akan tercipta pemerintahan yang lebih baik,karena proses pelayanan yang lebih trasnparan,terjadi control masyarakat yang lebih kuat,dan pengawasan yang bersifat lekat waktu (realtime) Berkurangnya praktek-praktek korupsi, karena komputer tidak memiliki sifat bawaan perilaku yang korup. 
    2. Tata hubungan yang lebih ramping untuk terlaksananya pemerintah yang lebih baik.
    3. Peningkatan efisiensi pemerintah di semua proses untuk menghadapi pemborosan belanja sektor publik atau inefisiensi dalam berbagai proses.
    4. Akan terjadi efisisensi dalam skala ruang dan waktu. 
    5. Struktur dan organisasi informasi yang tersistematisasi. 
    Peningkatan manajemen dari sumber daya baik dari sisi peningkatan bidang kendali (span of control) maupun sumber daya organisasinya. Dengan demikian, antara manfaat dan fungsi dari teknologi informasi dalam ruang e-administrasi maupun e-government tujuan dasarnya adalah pada sektor pemerintahan dengan munculnya berbagai prakarsa yang transparan ke arah perbaikan akses kompetisi global dan perbaikan kesejahteraan hidup secara lebih cepat, efisien, dan dapat diandalkan.Dan kunci untuk pemenuhan tujuan tersebut sebenarnya terletak pada adanya arahan leadership dan strategi pemilihan teknologi yang tepat.


    konsep sistem informasi manajemen menurut ahli

    A. Pendahuluan

    Perkembangan Sistem Informasi telah menyebabkan terjadinya perubahan yang cukup signifikan dalam pola pengambilan keputusan yang dilakukan oleh manajemen baik pada tingkat operasional (pelaksana teknis) maupun pimpinan pada semua jenjang.

    Dan pengambilan keputusan itu didukung oleh proses pelayanan prima dengan pengolahan data yang baik. Perkembangan ini juga telah menyebabkan perubahan-perubahan peran dari para manajer dalam pengambilan keputusan, mereka dituntut untuk selalu dapat memperoleh informasi yang paling akurat dan terkini yang dapat digunakannya dalam proses pengambilan keputusan para manajer di berbagai organisasi juga diharapkan dapat dengan lebih mudah untuk menganalisis kinerjanya secara konstan dan konsisten dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tersedia.Sehingga akhir dari sebuah pelayanan administrasi menjadi terpercaya oleh masyarakat sebagai konsumen.

    B. Pengertian sistem 

    Berbicara tentang sistem informasi, penulis mendahulukan apa yang di maksud dengan sistem menurut para ahli:
    1. Pengertian Sistem
    a. Pamudji : “Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh”.
    b. Prajudi : “Sistem adalah suatu jaringan dari prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan”
    c. Sumantri: “sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud,apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi atau setidak-tidaknya sistem yang sudah terwujud akan mendapat gangguan” 

    Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem adalah satu kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian yang saling terkait satu sama lain.Bagian atau anak cabang dari suatu sistem,menjadi induk dari rangkaian selanjutnya.Seperti halnya organisasi dan pemerintahan yang merupakan sistem, dan sub sistemnya adalah bagian-bagian dari organisasi dan pemerintahan tersebut.Tatkala berbicara tentang sistem organisasi, maka bagian-bagian dari sistem yang ada di dalamnya adalah:sistem administrasi,sistem kepemimpinan, sistem manajemen, birokrasi, pelayanan, dan sistem keuangan dan sebagainya. Sistem secara umum terdiri dari sistem terbuka dan sistem tertutup (open-loop and closed-loop system).

    Dalam hal ini Raymond McLeod, Jr menjelaskan yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah “sistem yang tidak memiliki sasaran, pengendalian mekanis, dan umpan balik.Sedangkan sistem yang tertutup, yaitu sebuah sistem yang memiliki sasaran, pengendalian mekanis, dan umpan balik”

    Dari kedua jenis sistem tersebut dapat dibedakan secara jelas antara sasaran, kontrol mekanis, maupun umpan balik yang ada pada keduanya.Dan perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah adanya kontradiksi dari masing-masing sistem.Sebuah sistem dikatakan terbuka jika input langsung ke proses transformasi menuju output.Sedangkan sistem tertutup memiliki sasaran yang jelas.

    C. Pengertian informasi
    Pengertian informasi; itu sendiri mengandung arti suatu data yang telah diolah ke dalam suatu bentuk yang lebih memiliki arti dan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Sehubungan dengan hal ini Davis (anwar, 2004:28) mengatakan “Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerima dan bermanfaat bagi dalam pengambilan keputusan saat ini atau mendatang”. Dengan kata lain, Informasi mengandung tiga struktur, yaitu adanya pengolahan data, harus memiliki arti bagi penerima, dan tujuannya adalah pengambilan keputusan yang bermanfaat saat ini atau mendatang.

    Lebih lanjut menurut Budi Sutedjo “informasi merupakan hasil pemerosesan data yang telah diperoleh dari setiap elemen sistem tersebut menjadi bentuk yang mudah dipahami dan merupakan pengetahuan yang relevan dan dibutuhkan dalam pemahaman fakta-fakta yang ada”. Artinya informasi merupakan suatu kumpulan data yang telah diolah, baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif dan memiliki arti luas, akan tetapi mudah di pahami.

    Untuk pengolahan informasi yang baik dalam arti berkualitas dibutuhkan syarat-syarat yang harus dijadikan tolak ukur untuk pengolahan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Terkait dengan hal ini O’Brian (Anwar, 2004: 34-35) menyatakan informasi yang baik dan berkualitas harus memenuhi syarat-syarat, antara lain:
    a.Dimensi waktu yang meliputi aspek tepat waktu (timeliness) yakni informasi harus tersedia ketika dibutuhkan; aktualitas (currency) yakni informasi harus up to date ketika dibutuhkan; frekuency(frequency) yakni informasi harus tersedia ketika sering dibutuhkan; periode waktu-(time periode) yakni informasi yang disediakan harus meliputi periode masa lalu, kini dan akan datang. b.Dimensi konteks yakni meliputi aspek akurasi(accuracy) yakni informasi harus bebas dari kesalahan; relevansi (relevance) yakni informasi harus berhubungan dengan kebutuhan spesifik dari penerima tertentu untuk situasi tertentu; kelengkapan (completeness) yakni semua informasi yang dibutuhkan harus tersedia; ringkas dan padat(conciseness) yakni informasi bisa memiliki lingkup yang luas atau sempit atau fokusnya internal atau eksternal; dan penampilan kinerja (performance) yakni informasi dapat menyatakan kinerja dengan mengukur aktifitas-aktifitas yang telah dicapai,kemajuan-kemajuan yang telah dibuat atau sumber-sumber daya yang telah dikumpulkan.
    c.Dimensi bentuk meliputi aspek kejelasan (clarity) yakni informasi harus diberikan dalam bentuk yang mudah dimengerti; rinci (detail) yakni informasi harus diberikan rinci dalam bentuk yang telah ditentukan; penyajian (presentation) yakni informasi harus disajikan dalam bentuk naratif, numeric, grafis, atau bentuk yang lainnya. Dan sarana (media) yakni informasi harus disediakan dalam bentuk dokumen kertas yang tercetak, tampilan video atau media lainnya.

    Terkait dengan persyaratan di atas, berarti informasi yang baik harus dalam bentuk yang jelas sehingga dapat di terima dan dipertanggungjawabkan,selain kelengkapan data-data juga berdasarkan ketepatan waktu dengan penyajian yang mudah di mengerti oleh komunikan. Dengan demikian data yang baik harus memenuhi kriteria ketepatan waktu, konteks yang lengkap menggambarkan kinerja yang berorientasi pada kejelasan dan pengembangan sumber daya.

    C.Pengertian Sistem Informasi

    Pengertian sistem informasi Menurut John F. Nash (1995:8) yang diterjemahkan oleh La Midjan dan Azhar Susanto, menyatakan bahwa Sistem Informasi adalah: Sistem Informasi adalah kombinasi dari manusia, fasilitas atau alat teknologi, media, prosedur dan pengendalian yang bermaksud menata jaringan komunikasi yang penting, proses atas transaksi-transaksi tertentu dan rutin, membantu manajemen dan pemakai intern dan ekstern dan menyediakan dasar pengambilan keputusan yang tepat.

    Sedangkan menurut Henry Lucas (1988:35) yang diterjemahkan oleh Jugianto H.M, menyatakan bahwa sistem Informasi adalah : Sistem Informasi adalah suatu kegiatan dari prosedur-prosedur yang diorganisasikan, bilamana dieksekusi akan menyediakan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan dan pengendalian di dalam organisasi.Menurut John F.Nash dan Martil B.Robert (1988:35) yang diterjemahkan oleh Jugianto H.M, menyatakan bahwa; Sistem Informasi adalah kombinasi dari orang-orang,fasilitas, teknologi, media, prosedur-prosedur dan pengendalian yang ditujukan untuk mendapatkan jalur komunikasi penting, memproses tipe transaksi rutin tertentu, memberi sinyal kepada manajemen yang lainnya terhadap kejadian-kejadian internal.

    Dari beberapa pengertian yang telah dikutip diatas, sistem informasi menyiratkan bahwa fungsi utamanya adalah menyediakan informasi sebagai penunjang yang membantu proses perencanaan, pengendalian serta transaksi manajemen. Dengan demikian, maka segala bentuk proses pekerjaan rutin maupun transaksi manajemen tertata dengan rapi.

    Dari perspektif manajemen,sistem informasi menjadi sebuah istilah yang menyatu yang lebih di kenal dengan Sistem Informasi Manajemen (SIM).SIM merupakan bagian dari sub-sistem dari sistem informasi.

    sumber:  http://aaahq.org
    Barry E.Cushing (1982) memberikan batasan Sistem Informasi Manajemen sebagai: “Suatu kumpulan manusia dan sumber daya modal di dalam suatu organisasi yang bertanggung jawab untuk pengumpulan dan pengolahan data guna menghasilkan informasi yang berguna bagi setiap hierarki manajemen dalam perencanaan dan pengendalian aktifitas organisasi”. Sementara Robert W.Holmes (dalam Eti Rochaety, 2010:12) “SIM adalah sistem yang dirancang untuk menyajikan informasi pilihan yang berorientasi kepada keputusan yang diperlukan oleh manajemen guna merencanakan, mengawasi, dan menilai aktivitas organisasi yang dirancang dalam kerangka kerja yang menitikberatkan pada perencanaan keuntungan, perencanaan penampilan, dan pengawasan pada semua tahap”. Sedangkan Soetdjo Moeljodihardjo (dalam Eti Rochaety, 2010:12) “SIM yaitu suatu metode yang menghasilkan informasi yang tepat waktu (timely) bagi manajemen tentang lingkungan eksternal dan operasi internal sebuah organisasi, dengan tujuan untuk menunjang pengambilan keputusan dalam rangka memperbaiki perencanaan dan pengendalian”.

    Berdasarkan batasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Sistem Informasi Manajemen adalah sistem yang didesain untuk kebutuhan manajemen dalam upaya mendukung fungsi-fungsi dan aktivitas manajemen pada suatu organisasi. Maksud dilaksanakannya Sistem Informasi Manajemen adalah sebagai pendukung kegiatan fungsi manajemen seperti planning, organizing, staffing,directing, evaluating, coordinating, dan budgeting dalam rangka menunjang tercapainya sasaran dan tujuan fungsi-fungsi operasional dalam organisasi.

    Pada dasarnya Sistem Informasi Manajemen mempunyai dua sisi atau aspek, yang mana kedua aspek tersebut tujuannya sama dalam hal pengolahan data untuk kelancaran suatu kegiatan maupun pengambilan keputusan.Hal yang sesuai dengan pernyataan ini adalah seperti yang dikutip dari Ibnu Syamsi (2007:109) yang menjelaskan bahwa SIM mempunyai dua aspek, yaitu aspek formal dan aspek informal. a) Aspek formal: yakni sisi dimana pengumpulan data melalui jalur formal.pengolahan datanya saat ini sudah banyak menggunakan komputer. b) Aspek informal: sisi informal ini secara tidak langsung berada dibawah pengendalian pimpinan atau pejabat yang diserahtugasi itu. Dari dua aspek yang telah disebutkan di atas menjelaskan bahwa Sistem informasi manajemen merupakan jalur untuk proses pengolahan data secara langsung maupun tidak langsung, baik itu dengan pengendalian atau pengolahan data dengan jalur komputerisasi. Inti dari kedua aspek ini adalah perolehan informasi melalui cara pengolahannya dengan komputer atau media lainnya atau langsung dari kelompok-kelompok sosial maupun pribadi-pribadi.

    Salah satu fungsi dari Sistem Informasi Manajemen adalah perolehan data yang baik.Data sendiri merupakan fakta-fakta yang mewakili suatu keadaan, kondisi, atau peristiwa yang terjadi atau ada di dalam atau di lingkungan fisik organisasi. Data tidak dapat langsung digunakan untuk pengambilan keputusan, melainkan harus di teliti dahulu kemudian digunakan dalam pengambilan keputusan.Terkait dengan perolehan data yang baik dalam implementasi Sistem Informasi Manajemen,Davis (dalam Anwar,2004:26) mengatakan: “SIM nantinya dapat menjawab kebutuhan tentang data yang baik.Data adalah kelompok teratur simbol-simbol yang memiliki kualitas,tindakan, benda, dan sebagainya.Data terbentuk dari karakter yang dapat berupa alfabet, angka, maupun simbol-simbol khusus”.

    Dengan demikian, Sistem Informasi Manajemen merupakan pendukung dari operasional pengumpulan data yang dibutuhkan oleh organisasi, tentunya proses dan efek dari sebuah data tersebut harus dapat dipercaya kebenarannya dan ditampilkan secara utuh. Data yang baik menurut Suradinata (Anwar, 2004:27) adalah:
    1. Reliable: dapat dipercaya kebenarannya, dimana metode pengumpulan data harus baik dan menggunakan metode ilmiah sedangkan pengolahannya harus dengan ketelitian yang tinggi.
    2. Up to date: data disiapkan tepat waktunya dan jangan sampai mengalami keterlambatan. Seringkali data yang out of date tidak mempunyai arti sama sekali.
    3. Comprehensif: menggambarkan keseluruhan persoalan.Data yang ditampilkan secara utuh dan jangan ditampilkan secara parsial.

    Beberapa studi sistem informasi menyangkut operasi yang dilaksanakan atas data, tujuannya adalah agar dapat menimbulkan informasi yang relevan.Metode yang bermanfaat dalam klasifikasi operasional tersebut adalah konsepsi siklus pengolahan data.Siklus pengolahan data dapat disimpulkan sebagai siklus yang memiliki lima tahap. Dr.H.B.Siswanto (2007, 189-190) memberikan deskripsi atas tahap-tahap pengumpulan data tersebut sebagai berikut:
    1. Tahap pengumpulan data Tahap ini meliputi dua aktivitas utama, yaitu observasi lingkungan yang menimbulkan data. Selanjutnya tahap pencatatan data yang biasanya dalam bentuk dokumen sumber tertulis tetapi dapat dibaca oleh mesin.
    2. Tahap penghalusan data Tahap ini meliputi ;Klasifikasi data yang menyangkut penetapan kode identifikasi pada catatan data yang didasarkan pada sistem pengelompokan yang telah ditetapkan sebelumnya;Akumulasi catatan masukan yang sama untuk diolah sebagai suatu akumulasi atau kelompok;Verifikasi yang menyangkut berbagai prosedur untuk mengendalikan kecermatan data sebelum dimasukkan untuk pengolahan data yang akan dilakukan;Penyortiran data untuk menyiapkan suatu akumulasi catatan masukan ke dalam urutan berdasarkan nomor urut atau menurut abjad sesuai dengan cara yang dikehendaki;Pemindahan data dari suatu lokasi ke lokasi lain dan pengbahan dalam bentuk lain.
    3. Tahap pengolahan data Tahap ini mencakup:Akumulasi yang meliputi bentuk operasi matematis;Perbandingan dan pemeriksaan simultan terhadap dua atau lebih golongan data;Pengikhtisaran merupakan aktifitas pengolahan yang sangat penting dan menyangkut penggunaan data sedikit demi sedikit ke dalam kuantitas yang dikendaki;Penyaringan,yaitu meneliti data tambahan dari pengolahan berikutnya;Pencarian, berupa aktifitas mengambil dari tempat penyimpanan untuk digunakan dalam pengolahan atau untuk tujuan keluaran.
    4. Tahap pemeliharaan data Tahap ini meliputi aktivitas penyimpanan data, pemutakhiran data, pemberian indeks data, dan perlindungan atau pengamanan data yang tersimpan.
    5. Tahap keluaran data: Tahap ini biasanya dalam bentuk yang umum, yaitu laporan atau dokumen.

    Dari beberapa tahap siklus pengolahan data diatas, mulai dari tahap pengumpulan data hingga tahap keluaran data, hal yang pertama sekali ditekankan adalah penyediaan informasi yang cermat, akumulasi dan pengolahan data yang efisien, serta keamanan dari data tersebut. Pengolahan data dengan dukungan Sistem Informasi Manjemen pada dasarnya bertujuan agar pengambilan keputusan yang tepat dapat diperoleh.Ibnu Syamsi berpendapat Pengambilan keputusan itu sendiri merupakan proses berurutan yang membutuhkan penggunaan model yang tepat.Pengambil keputusan berusaha menggeser keputusan yang semula tanpa perhitungan menjadi keputusan yang penuh perhitungan.

    sumber : http://www.cse.wustl.edu
    Lebih lanjut Ibnu Syamsi menjelaskan dalam merancang SIM, maka lebih dulu ditetapkan faktor-faktor kritis keberhasilan yang dibutuhkan oleh pemimpin dalam membuat keputusan. Dalam bidang financial , keputusan yang perlu diambil berkaitan dengan: struktur modal, jumlah modal kerja, jaminan untuk dana baru (emisi saham), pembayaran deviden, modal yang ditanam kembali untuk memperbesar usaha, rencana pembiayaan baru, penetapan biaya operasional, likuidasi, perimbangan antara aktiva lancer dan utang jangka pendek (current ratio) dan lain sebagainya. Berbicara tentang SIM di berbagai bidang, berarti berbicara tentang SIM secara fungsional.Yang dimaksud dengan sistem informasi manajemen fungsional adalah sistem informasi berdasarkan bidang fungsi atau kegiatan unit dalam organisasi.

    Di bidang financial atau bidang keuangan, tidak jauh beda dengan bidang perpajakan. Karena dalam sistem perpajakan pun diperoleh sistem informasi financial, yang mana sistem informasi financial memberikan informasi bagi perencanaan, penyusunan dan perhitungan anggaran untuk waktu mendatang terkait informasi tentang posisi keuangan (financial position). Alhasil, Sistem informasi manajemen (manajement information system atau sering dikenal dengan singkatannya MIS) merupakan penerapan sistem informasi di dalam organisasi untuk mendukung informasi-informasi yang dibutuhkan oleh semua tingkatan manajemen.Semua itu tiada lain karena Sistem Informasi Manajemen disamping sebagai pendukung dalam hal pengolahan data, penyimpanan data, juga dapat membuat proses pendataan dengan akselerasi cepat, yang efektif untuk hasilnya dan efisien dalam prosesnya.


    sumber:
    skripsi penulis 2010, dari berbagai literatur pustaka. 

    reformasi pajak bumi dan bangunan melalui teknologi e-tax

    A. Pendahuluan
    Salah satu sistem perpajakan yang diatur dalam perundang-undangan di negara ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pada hakekatnya, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana perwujudan kegotongroyongan nasional dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak.Pajak bersifat dinamik dan mengikuti perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi negara serta masyarakatnya.
    Pajak dinamis bukan statis

    Tuntutan akan peningkatan penerimaan, perbaikan-perbaikan dan perubahan mendasar dalam segala aspek perpajakan menjadi alasan dilakukannya reformasi perpajakan dari waktu ke waktu, yang berupa penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan sistem administrasi perpajakan, agar basis pajak dapat semakin diperluas, sehingga potensi penerimaan pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal dengan menjunjung asas keadilan sosial dan memberikan pelayanan prima kepada Wajib Pajak.

    Menurut Gunadi, "pajak ini mengikuti fenomena kehidupan sosial ekonomi masyarakat.Di setiap perubahan kehidupan sosial perekonomian masyarakat maka sudah sepantasnyalah bahwa pajak harus mengadakan reformasi" Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan. Baik itu dari sisi pelayanan administrasi hingga reformasi birokrasi perpajakan.

    Sebagaimana ihwal yang terjadi saat ini, puncak dari perwujudan otonomi daerah adalah diberikannya kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal yang penting dalam otonomi daerah adalah tantangan perbaikan pelayanan publik, termasuk dalam hal ini sistem perpajakan pasca otonomi daerah. Otonomi daerah diharapkan dapat menjadi awal bagi reformasi pelayanan publik administrasi PBB. Hal tersebut tiada lain karena dengan diwujudkannya otonomi daerah, proses pendewasaan dalam penataan daerah dengan serta merta dapat memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya tata pemerintahan yang baik.Dalam hal ini,Pemerintah daerah memiliki kewenangan besar untuk mendorong proses kebijakan parsitipatif, responsif, dan akuntabel. Karena kinerja pelayanan publik yang baik harus memenuhi prinsip-prinsip keadilan, responsifitas, dan efesiensi pelayanan.Efisiensi dari sebuah proses pencapaian target dan optimalisasi pelayanan merupakan jawaban untuk pertanyaan waktu dan biaya.

    Menurut dwiyanto (2003: 92) "Efisiensi menunjuk pada dimensi waktu dan biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan berbagai jenis pelayanan publik".Dalam hal ini pajak merupakan bagian dari pelayanan publik yang di emban oleh instansi pemerintahan melalui dirjen perpajakan pusat maupun daerah.

    Terkait dengan hal diatas, salah satu bentuk usaha pencapaian efisiensi pelayanan yang harus dikerjakan pemerintah adalah pemenuhan kebutuhan data dan informasi yang baik bagi warganya. Pengadaan informasi yang diselenggarakan pemerintah sebenarnya dapat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi manajemen (SIM). 

    SIM adalah suatu alat untuk menyajikan informasi dengan cara sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi penerimanya (O'Brian dalam Anwar, 2004: 34-35).SIM nantinya dapat menjawab kebutuhan tentang data dan informasi yang baik. Di sisi lain, sistem informasi manajemen merupakan faktor pendukung transaksi dan pengolahan data dari dukungan informasi suatu produk manajemen, seperti yang dikutip dari Dr.H.B.Siswanto (2007, 188) dalam bukunya Pengantar Manajemen menjelaskan:
    "Sistem Informasi Manajemen merupakan sebuah sistem informasi yang selain melakukan pengolahan transaksi yang sangat berguna bagi kepentingan organisasi,juga banyak memberikan dukungan informasi dan pengolahan untuk fungsi manajemen dalam pengambilan keputusan"
    Sehubungan dengan usaha pengaplikasian Sistem Informasi Manajemen dalam hal reformasi pelayanan administrasi perpajakan, dalam arti modernisasi perpajakan harus lah lebih dulu membenahi struktur organisasi berdasarkan tugas pokok dan fungsi, perbaikan pelayanan bagi setiap wajib pajak melalui pembentukan account representative dan compliant center untuk menampung keberatan Wajib Pajak, sehingga kepatuhan dari wajib pajak meningkat . Selain itu, sistem administrasi perpajakan modern juga sudah selayaknya merangkul kemajuan teknologi terbaru, di antaranya melalui pengembangan Sistem Informasi Perpajakan (SIP) dengan pendekatan fungsi menjadi Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT) yang dikendalikan oleh case management system.Adapun jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. 

    Teknologi memiliki peran penting dalam perkembangan umat manusia, terutama ketika manusia mengelola organisasi.Apalagi kalau teknologi dikonseptualisasikan sebagai produk atau pelayanan dimana teknologi tidak hanya objek fisik tetapi juga merupakan kegiatan atau mekanisme prosedur kerja serta pengetahuan yang dibutuhkan dalam mengembangkan dan mengaplikasikan peralatan, alat-alat, dan metode-metode untuk menghasilkan out-put tertentu.Konseptualisasi seperti itu berimplikasi bahwa setiap kegiatan administrasi dan manajemen merupakan teknologi dan pasti memerlukan teknologi."

    Menurut Chaizi Nasucha (2004)"reformasi administrasi perpajakan adalah penyempurnaan atau perbaikan kinerja administrasi, baik secara individu, kelompok, maupun kelembagaan agar lebih efisien, ekonomis, dan cepat". Efisiensi dari sebuah pelayanan serta perhitungan yang akurat dengan data yang up to date menjadikan proses pelayanan menjadi efektif. Apalagi di dukung oleh teknologi komputerisasi untuk akselerasi cepat pengolahan data.

    Dalam hal pemanfaatan teknologi, Dr.Akadun dalam pembukaan bukunya menyatakan:
    "Dengan sistem administrasi perpajakan modern, disamping sistem informasi sebagai pendukung kelancaran, tentunya harus didukung pula dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dan berkualitas serta mempunyai kode etik kerja dengan dasar prinsip manajemen yang berkualitas pula. Semua itu diharapkan akan menciptakan prinsip Good Corporate Governance yang dilandasi transparansi, akuntabel, responsif, independen dan adil. Ditambah lagi hasil akhir dari proses yang diterapkan melalui Sistem Informasi Manajemen adalah pengambilan keputusan sebagai solusi pemecahan masalah".

    Dalam hal ini Agus Dwiyanto menyatakan:
    "Salah satu faktor rendahnya pemberian pelayanan yang berkualitas adalah rendahnya sumber daya manusia. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ditunjukkan dengan ketidakmampuan petugas memberikan solusi kepada costumer atau yang lebih dikenal dengan melakukan tindakan diskresi (dwiyanto, 2006:84)"

    Dengan demikian, Sistem Informasi dengan Manajemen mutu pelayanan terpadu serta dukungan Sumber Daya Manusia yang handal menjadi faktor penting untuk langkah reformasi pelayanan administrasi perpajakan.Terlebih lagi di era globalisasi sekarang, faktor teknologi tentunya menjadi faktor penting dalam peningkatan kualitas pelayanan publik, karena dengan penggunaan teknologi akan memaksa komitmen elit, sistem dan aparatur pemerintah berubah dalam arti berkualitas. Suatu perbedaan yang signifikan bahwa organisasi yang menggunakan Sistem Informasi Manajemen, ternyata lebih memiliki keunggulan dari organisasi yang tidak menggunakannya.

    Dengan di dasari peningkatan dan kualitas pelayanan,manajemen perpajakan yang bermutu,sosialisasi melalui informasi,maka reformasi pelayanan publik, dalam hal ini administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, seyogyanya diterapkan tidak hanya dilingkungan direktorat perpajakan pusat, tapi sampai daerah pemerintahan Kecamatan hingga Kelurahan.

    (baca juga :  sistem informasi keuangan daerah yang baik)

    Thursday, September 18, 2014

    sejarah undang-undang 1945 hingga era reformasi 2014

    A. Pendahuluan

    Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
    1. Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
    2. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
    3. Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
    4. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945

    Ada penambahan pasal, dan beberapa poin yang telah dirubah di dalam UUD 1945. semua perubahan tersebut saat ini dikenal dengan istilah amandemen. Perubahan-perubahan tersebut bertujuan agar bisa menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada pada warga Indonesia. Seperti dalam pasal 18 yang menyebutkan aturan-aturan pemerintahan daerah dan sebagainya.

    ok sobat..

    Terlepas dari semua perubahan itu, kita tentu ingin mengetahui latar belakang UUD 1945. Hal ini penting, sama pentingnya dengan dasar Negara kita yakni Pancasila. Dikatakan sebagai dasar nya Undang-undang disebabkan karena semua Undang-undang, peraturan, ampres, dan sebagainya, semuanya harus kembali kepada konsep UUD 1945.

    B. Sejarah konsep  UUD 1945

    UUD 1945 di awali dengan lahirnya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Para anggota BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 bersidang dalam dua tahap: pertama, dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 untuk menetapkan dasar negara dan berhasil merumuskan Pancasila yang didasarkan pada pidato anggota Soekarno pada 1 Juni 1945, kedua, dari tanggal 10 sampai dengan 17 Juli 1945 yang berhasil membuat Undang-Undang Dasar (Harun Al Rasid, 2002).

    1. Sidang Pertama 29 Mei hingga 1 Juni 1945

    Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Supomo, dan Ir. Sukarno. Mereka mengemukakan beberapa konsep dengan berbagai argumen. Dari keseluruhan konsep inilah nantinya yang akan menjadi cikal-bakal konsep dasar teks Pancasila yang kita kenal saat ini. Beberapa gagasan tersebut adalah seperti yang dikemukakan oleh :

    1) Mr. Mohammad Yamin (29 Mei 1945)
    Pemikirannya diberi judul ”Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” dan mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yang intinya sebagai berikut:

    1. Peri kebangsaan;
    2. Peri kemanusiaan;
    3. Peri ketuhanan;
    4. Peri kerakyatan;
    5. Kesejahteraan rakyat.

    2) Mr. Supomo (31 Mei 1945)

    Pemikirannya berupa penjelasan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan dasar negara
    Indonesia merdeka. Negara yang akan dibentuk hendaklah negara integralistik yang berdasarkan pada
    hal-hal berikut ini:

    1. persatuan;
    2. kekeluargaan;
    3. keseimbangan lahir dan batin;
    4. musyawarah;
    5. keadilan sosial.

    3) Ir. Sukarno (1 Juni 1945)

    Pemikirannya terdiri atas lima asas berikut ini:

    1. kebangsaan Indonesia;
    2. internasionalisme atau perikemanusiaan;
    3. mufakat atau demokrasi
    4. kesejahteraan sosial;
    5. Ketuhanan Yang Maha Esa.

    2. Sidang Kedua pada tanggal  10 sampai dengan 17 Juli 1945

    Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Panitia Sembilan, terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A. Maramis, Ir. Soekarno, KH. Abdul Kahar Moezakir, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, dan Mr.  Muh. Yamin. Panitia Sembilan berhasil membuat rancangan Preambule Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muh. Yamin disebut dengan istilah Piagam Jakarta.

    Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

    3. Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)

    Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan pertama dari sistem pemerintahan Indonesia terhadap UUD 45.

    4. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)

    Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang di dalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya. Ini merupakan perubahan dari UUD 45 yang mengamanatkan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan.

    5. Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)

    Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.

    6. Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)

    Perangko "Kembali ke UUD 1945" dengan nominal 50 sen.Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:

    Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara. MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.

    7. Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)

    Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:

    1. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.
    2. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
    3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

    6. Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober 1999

    Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.

    7. Periode Perubahan UUD 1945

    Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

    Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

    sumber referensi: 
    • http://www.empatpilarkebangsaan.web.id/
    • http://id.wikipedia.org/
    • Sejarah Indonesia blog

    Wednesday, September 17, 2014

    apa tujuan Undang-undang MD3?

    A. Pasal UU MD3 yang menuai Pro-Kontra

    Sehari sebelum pemungutan suara Pemilu Presiden 9 Juli 2014, DPR hasil Pemilu 2009 mengesahkan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dikenal dengan UU MD3. DPR kembali menuai kontroversi. Mereka menetapkan beberapa perubahan pasal pada Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau dikenal sebagai UU MD3.
    Ada beberapa pasal yang justru dinilai oleh berbagai kalangan, kontraproduktif dengan UU lainnya. revisi UU Nomor 27/2009 tersebut dianggap tendensius untuk melindungi diri sendiri dari jerat hukum tindak pidana korupsi, tidak fair, dan bertentangan dengan arus besar keinginan rakyat untuk memberantas korupsi, khususnya prinsip equality before the law, kesamaan derajat di depan hukum.
    Sebagaimana diketahui, DPR berusaha membuat ’’pertahanan diri’’ dan berkelit untuk tidak gampang disidik kepolisian, kejaksaan, serta KPK. Mereka memagari diri dengan pasal yang intinya memuat ketentuan bahwa penyidik, baik kepolisian maupun kejaksaan, harus mendapat izin lebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang akan mereka bentuk sendiri sebagaimana bunyi pasal 245 UU MD3.
    Berikut beberapa pasal tersebut:
    • Pasal 84. Pasal itu menetapkan calon ketua DPR dan keempat wakilnya harus diajukan gabungan fraksi dan dipilih anggota DPR masa bakti 2014-2019 dalam sidang paripurna.
    • Pasal 245 ayat 1 UU MD3 dimuat ketentuan bahwa penyidik baik dari Kepolisian, dan Kejaksaan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
    • Pasal 245 ayat 3 UU MD3 disebutkan bahwa Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tak perlu izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR, jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana, (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.Ditambahkan lagi tidak diatur pengecualian jika anggota DPR dipanggil menjadi saksi dalam penyidikan ataupun penyelidikan kasus tindak pidana korupsi.
    • Pasal 224 ayat (5) dikatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
    • Ayat (6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
    • Ayat (7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.

    B. Tujuan UU MD3 Versi DPR-RI


    Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan termasuk lembaga permusyawaratan/perwakilan, yaitu MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Perubahan dimaksud bertujuan mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang lebih demokratis, efektif, dan akuntabel. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mengatur keempat lembaga tersebut, pada dasarnya sudah membuat pengaturan menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan/perwakilan yang demokratis, efektif, dan akuntabel. Akan tetapi, sejak Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diundangkan, masih terdapat beberapa hal yang dipandang perlu untuk ditata kembali melalui penggantian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 didasarkan pada materi muatan baru yang telah melebihi 50% (lima puluh persen) dari substansi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tersebut.
    Penggantian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 terutama dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan ketatatanegaraan, seperti dalam pembentukan Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang membatalkan beberapa ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Perkembangan lainnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 /PUU-XI/2013 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengurangi kewenangan DPR dalam pembahasan APBN.
    Di samping perkembangan sistem ketatanegaraan, pembentukan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksudkan pula sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja masing-masing lembaga perwakilan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip saling mengimbangi checks and balances, yang dilandasi prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta sekaligus meningkatkan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap fungsi representasi lembaga perwakilan yang memperjuangkan aspirasi masyarakat.
    Sejalan dengan pemikiran di atas serta untuk mewujudkan lembaga perwakilan rakyat yang demokratis, efektif, dan akuntabel, Undang-Undang ini memperkuat dan memperjelas mekanisme pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas MPR, DPR, DPD, dan DPRD seperti mekanisme pembentukan undang-undang dan penguatan fungsi aspirasi, penguatan peran komisi sebagai ujung tombak pelaksanaan tiga fungsi dewan yang bermitra dengan Pemerintah, serta pentingnya penguatan sistem pendukung, baik sekretariat jenderal maupun Badan Keahlian DPR.

    Catatan Penulis :

    Undang-Undang MD3 jika diperhatikan dari segi konsep, tujuan, dan latar belakang penyusunannya memang benar-benar bagus, dan tidak ada salahnya. yah..  begitulah menurut penulis.Namun dari segi realita dan waktu, lahirnya UU MD3 ini sangat sarat dengan kepentingan elite partai politik yang bersebarangan dengan partai yang akan berkuasa pada tahun 2014-2019. 
    Sekalipun naskah UU MD3 ini sudah ada sejak 2010, namun perlu diketahui betapa banyaknya RUU yang lain saat artikel ini dituliskan belum juga disahkan.
    Terlepas dari semua itu, penulis berharap UU MD3 ini mendapat nilai tambah bagi dunia perpolitikan di Indonesia. Akan kah semakin dewasa, atau malah kekanak-kanakan.

    Sumber Referensi :
    Kompasiana
    Jawa Pos
    UU MD3 naskah copy 2014

    Popular Posts